Baterai Mobil Listrik-SwaraWarta.co.id (Sumber: Bloomberg Technoz) |
SwaraWarta.co.id – Isu mengenai penggunaan nikel sebagai komponen bahan baku baterai listrik, khususnya dalam kendaraan listrik seperti Tesla, sedang menjadi perbincangan hangat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Timnas Co-Captain, AMIN Thomas Lembong, menciptakan kontroversi ketika menyatakan bahwa mobil Tesla yang diproduksi di China kini menggunakan Lithium-Ferro-Phosphate (LFP) bukan nikel.
Gibran Rakabuming Raka, Cawapres RI nomor urut 2, menanggapi pernyataan tersebut dengan menuduh Tom Lembong berbohong kepada publik.
Gibran menyatakan bahwa tidak semua mobil listrik menggunakan baterai jenis LFP, masih ada yang menggunakan nikel sebagai komponen utama baterai.
Muhammad Lutfi, Mantan Menteri Perdagangan, memberikan perspektif positif terkait penggunaan nikel dalam baterai mobil listrik.
Menurutnya, baterai nikel memiliki keunggulan berupa densitas energi yang lebih tinggi.
Densitas energi yang tinggi berarti mobil listrik dengan baterai nikel dapat memiliki daya tahan yang lebih lama karena kapasitas energinya yang lebih besar.
Lutfi menjelaskan bahwa Nikel itu logam yang lebih energi dense. Nikel juga menurut Lutfi bisa muat lebih banyak energi, lebih kecil, dan lebih ringan.
Hal ini tentu saja membuat mobil Tesla bisa pergi lebih jauh sekali charge.
Pernyataan ini mencerminkan pandangan positif terhadap potensi peningkatan jarak tempuh mobil listrik dengan penggunaan baterai nikel.
Lebih lanjut, Lutfi mencatat bahwa penggunaan baterai nikel masih mendominasi pasar dengan pangsa sebesar 60%, menurut data Badan Energi Internasional (IEA) pada tahun 2022.
Sementara itu, penggunaan baterai LFP pada mobil listrik hanya mencapai 27%.
Ini menunjukkan bahwa, meskipun ada diskusi mengenai bahan baku yang digunakan, nikel tetap menjadi pilihan yang dominan dalam industri baterai listrik.
Namun, di sisi lain, Lutfi memberikan catatan mengenai kinerja baterai LFP.
Menurutnya, kinerja baterai LFP dapat mengalami penurunan hingga 60% pada musim dingin.
Bahkan, ia menyebutkan bahwa baterai LFP dapat mati pada suhu di bawah -10 derajat.
Informasi ini menyoroti tantangan potensial yang mungkin dihadapi oleh baterai LFP terutama dalam kondisi iklim ekstrem.
Dengan adanya perspektif ini, muncul pertanyaan seputar keberlanjutan dan performa baterai listrik di berbagai kondisi iklim.
Hal ini memperlihatkan kompleksitas dalam memilih bahan baku untuk baterai listrik, di mana setiap opsi memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Dalam konteks ini, penelitian dan pengembangan terus dilakukan untuk mencari solusi terbaik yang memenuhi kebutuhan daya tahan, keberlanjutan, dan performa mobil listrik.
Nikel masih mendominasi pasar baterai listrik, perdebatan mengenai pilihan bahan baku terus berkembang dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan industri kendaraan listrik.***