Wayang Potehi Khas Imlek-SwaraWarta.co.id (Sumber: Kompas) |
SwaraWarta.co.id – Momentum Tahun Baru Imlek menjadi peluang bagi wayang potehi, pertunjukan unik yang mencerminkan perpaduan budaya China dan Indonesia, untuk terus hidup di tengah ancaman kepunahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diperkirakan hanya ada kurang dari 10 dalang yang berusaha melestarikan seni wayang potehi di Indonesia, sementara regenerasi terus terhambat.
Salah satu dari sedikit dalang yang masih ada adalah Sugiyo Waluyo, atau lebih dikenal sebagai Subur.
Sejak awal Februari, ia diundang ke Jakarta untuk tampil di Mal Ciputra selama 25 hari, dengan tiga sesi pertunjukan setiap harinya.
Subur menceritakan kisah serial tentang perjuangan seorang pendekar yang berusaha mengungkap kejahatan seorang pejabat pemerintahan yang membangun paviliun indah di atas penderitaan rakyat.
Meskipun kisah ini dikembangkan selama lebih dari tiga pekan, dengan tiga sesi per hari, Subur kini merasa cemas karena regenerasi dalang terhenti.
Beberapa dalang telah meninggal dalam satu dekade terakhir, sementara tidak ada generasi muda yang sepenuhnya serius menggeluti kesenian ini.
Subur memperkirakan hanya ada sekitar lima dalang wayang potehi berdasarkan kontak komunikasi yang masih ada di antara para seniman.
Ia khawatir bahwa jika tidak ada regenerasi dari generasi muda, wayang potehi akan punah. Subur menyebutkan bahwa sudah banyak rekan-rekannya yang meninggal.
Kesenian wayang potehi memiliki sejarah panjang dalam hubungan kebudayaan antara Indonesia dan China.
Masuk ke Indonesia beberapa abad lalu bersamaan dengan kedatangan para pedagang China, khususnya di wilayah Semarang, Jawa Tengah.
Pertunjukan ini biasanya melibatkan tiga pemain alat musik, satu dalang, dan satu asisten dalang.
Subur menjelaskan bahwa menjadi seorang dalang membutuhkan waktu yang panjang.
Meskipun dia sudah berkecimpung selama 50 tahun, baru setelah dua dekade mencoba berbagai posisi seperti asisten dalang dan pemain alat musik, ia benar-benar siap menjadi seorang dalang.
Proses panjang ini juga menjadi alasan regenerasi yang minim.
Seiring berkembangnya jaman, pertunjukan wayang potehi semakin sulit dijumpai dalam acara-acara biasa, kecuali pada momen tertentu seperti Tahun Baru Imlek.
Kelangkaan ini membawa Milana, seorang wanita dari Bekasi, untuk menempuh perjalanan satu jam menggunakan kereta guna menyaksikan pertunjukan wayang potehi di Mal Ciputra di Jakarta Barat.
Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap eksistensi seni ini yang semakin redup dan menyarankan agar cerita yang dibawakan lebih sederhana agar mudah dipahami oleh anak-anak.
Pemerintah juga perlu memberikan lebih banyak dukungan untuk pelestarian kebudayaan ini.
Milana menyarankan pemerintah untuk menghadirkan pertunjukan wayang potehi lebih rutin di beberapa tempat publik yang kental dengan kebudayaan China.
Sementara Subur, sebagai pelaku seni, meminta dukungan logistik seperti pengadaan alat musik hingga seragam dari pemerintah.
Keterbatasan akses ke beberapa alat musik yang harus dibeli langsung dari China juga menjadi tantangan.
Subur berharap agar pemerintah dapat membantu dalam hal ini.
Dengan langkah-langkah konkret, diharapkan seni wayang potehi dapat tetap hidup dan menjadi bagian integral dari kekayaan budaya Indonesia.***