Tradisi Unik Sambut Ramadhan: Munggahan-SwaraWarta.co.id (Sumber: Infogarut.id) |
SwaraWarta.co.id – Tradisi munggahan, yang berakar dari budaya masyarakat Sunda di Jawa Barat, merupakan sebuah ungkapan syukur menyambut bulan Ramadan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kata “munggahan” berasal dari bahasa Sunda, yang merujuk pada naiknya derajat umat Muslim seiring dengan kedatangan bulan suci ini.
Pelaksanaannya biasanya dilakukan sekitar akhir bulan Syakban, sekitar seminggu hingga 1-2 hari sebelum Ramadan dimulai.
Beberapa daerah di Jawa Barat memiliki nama yang berbeda untuk tradisi ini, seperti papajar di Bandung, cucurak di Bogor, dan munggahan sendiri di beberapa daerah lainnya.
Waktu pelaksanaan tidak memiliki patokan yang pasti, tetapi umumnya dilakukan dalam waktu yang mendekati hari pertama Ramadan.
Munggahan tidak melibatkan kegiatan formal, melainkan lebih fokus pada kegiatan keluarga dan sanak saudara.
Berkumpul, bermaaf-maafan, berdoa bersama, dan beraktivitas seperti botram (makan bersama) menjadi bagian dari tradisi ini.
Selain itu, beberapa orang juga melakukan ziarah ke makam orangtua atau tokoh yang dihormati.
Tradisi bersedekah, yang disebut sebagai sedekah munggah, juga menjadi bagian integral dari munggahan.
Meskipun sedekah bisa dilakukan kapan saja, dalam konteks munggahan, tindakan ini dijalankan sebagai tradisi turun-temurun.
Filosofisnya, munggahan bertujuan untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah SWT dan membersihkan diri dari hal-hal negatif dalam setahun sebelumnya.
Secara spiritual, tradisi ini diartikan sebagai hubungan antara dunia dan akhirat, terutama bagi mereka yang mengisi munggahan dengan berziarah ke makam orangtua atau saudara.
Berkunjung ke makam diartikan sebagai upaya menjalin hubungan antara kehidupan dan kematian, sebuah pemahaman yang kental dengan nilai-nilai spiritual.
Selain aspek spiritual, munggahan juga memiliki nilai sosial yang kuat.
Makam yang seringkali terletak di kampung halaman mendorong muslim Sunda yang merantau untuk kembali pulang.
Mobilitas sosial ini tidak hanya memperkuat ikatan keluarga, tetapi juga meningkatkan interaksi sosial, menjaga hubungan yang mungkin terputus karena jarak.
Dalam keseluruhan, munggahan tidak hanya sekadar tradisi menyambut Ramadan tetapi juga membawa manfaat besar.
Dengan menjaga silaturahmi dan ikatan sosial, tradisi ini memperkaya nilai-nilai kehidupan masyarakat Sunda.
Meski tampil dalam berbagai varian di berbagai daerah, esensi dari munggahan tetap menjadi ungkapan syukur, spiritualitas, dan kebersamaan yang dapat menjadi inspirasi bagi siapa pun untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari.***