SwaraWarta.co.id – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan rencana kontroversial saat menjamu Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih pada Selasa 4 Februari 2025.
Dalam pernyataannya, Trump mengusulkan pemindahan permanen warga Palestina dari Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania.
Ia menggambarkan Gaza sebagai “wilayah yang hancur” akibat konflik berkepanjangan sejak 7 Oktober 2023, dan mengklaim relokasi sebagai solusi terbaik bagi penduduk yang terdampak perang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, usulan ini langsung mendapat penolakan tegas dari Indonesia. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, pada Rabu (5/2/2025) menegaskan bahwa Indonesia menolak segala bentuk pemindahan paksa warga Palestina atau perubahan komposisi demografis wilayah pendudukan.
Menurutnya, tindakan semacam ini hanya akan menghambat terwujudnya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, sesuai dengan solusi dua negara berdasarkan perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Indonesia juga menyerukan komunitas internasional untuk memastikan penghormatan terhadap hukum internasional, terutama hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan kembali ke tanah air mereka. “Satu-satunya jalan menuju perdamaian abadi di kawasan ini adalah dengan mengatasi akar konflik, yaitu pendudukan ilegal yang terus berlanjut oleh Israel atas wilayah Palestina,” tegas Rolliansyah.
Dari sudut pandang akademis, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo, menilai bahwa usulan Trump justru bertentangan dengan gagasan solusi dua negara yang selama ini didukung oleh AS. Ia menekankan bahwa merelokasi warga Gaza ke negara lain bukanlah solusi yang tepat.
“Lebih baik mencari lokasi di Gaza yang masih bisa ditinggali, meskipun sementara. Jika memang tidak ada tempat layak, harus ada jaminan bahwa para pengungsi bisa kembali ke tanah mereka,” ujar Agung. Ia menambahkan, rekonstruksi bertahap di Gaza, misalnya dimulai dari wilayah utara, bisa menjadi alternatif yang lebih masuk akal dibanding pemindahan permanen.
Senada dengan Agung, Hasbi Aswar, pengamat hubungan internasional dari Universitas Islam Indonesia, menduga bahwa usulan relokasi ini berkaitan dengan upaya Trump untuk membujuk Netanyahu agar mau melakukan gencatan senjata dengan Hamas. Namun, ia mencatat bahwa Netanyahu tampaknya enggan mengambil langkah tersebut karena tidak ingin Hamas tetap bercokol di Gaza.
Di tengah situasi yang semakin kompleks, perdebatan mengenai masa depan Gaza terus berlanjut. Namun, satu hal yang jelas: relokasi paksa bukanlah jawaban bagi perdamaian jangka panjang di kawasan tersebut.