SwaraWarta.co.id – Buntut dari viral kasus Gus Miftah, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H. Ahmad Zubaidi, menekankan pentingnya para pendakwah atau dai untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan lisan, terutama di era digital yang serba cepat ini.
Menurutnya, kesalahan dalam menyampaikan dakwah tidak hanya dapat mengurangi esensi nilai-nilai Islam yang ingin disampaikan, tetapi juga berpotensi menurunkan kredibilitas pendakwah itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat, K.H. Ahmad Zubaidi menjelaskan bahwa dakwah harus dijalankan dengan baik agar terus mendapatkan apresiasi dari masyarakat.
Ia menyoroti pentingnya para dai menggunakan bahasa yang sopan, mendidik, dan memberikan contoh positif kepada umat.
Bahasa yang baik, menurutnya, adalah kunci untuk menjaga nilai-nilai luhur Islam tetap terjaga dalam penyampaian dakwah.
Sebagai seorang ulama dan akademikus di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, K.H. Ahmad Zubaidi menegaskan bahwa etika, adab, dan tata krama adalah fondasi penting yang harus dimiliki oleh setiap dai.
Ia menambahkan bahwa pendidikan ilmu saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan adab.
Seorang dai yang hanya mengandalkan ilmu tanpa memperhatikan tata krama, menurutnya, berisiko menjadi sombong dan angkuh dalam menyampaikan dakwah.
Ia juga mengingatkan para pendakwah untuk berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak melukai perasaan pendengar.
Dakwah, menurutnya, seharusnya menjadi medium untuk menyebarkan kasih sayang dan perhatian dengan mengedepankan nilai-nilai Islam yang luhur.
Dengan menjaga tata krama dalam berdakwah, ia yakin para dai dapat memberikan dampak yang lebih positif bagi umat.
Lebih lanjut, K.H. Ahmad Zubaidi mengingatkan bahwa lisan yang tidak terjaga dapat membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan situasi.
Hal ini, menurutnya, dapat memicu konflik di kalangan umat Islam maupun antarorganisasi.
Oleh karena itu, ia mengimbau para dai untuk senantiasa berhati-hati dalam berdakwah, terutama dalam memilih kata-kata yang digunakan.
Selain menjaga etika, K.H. Ahmad Zubaidi juga mendorong para dai untuk meningkatkan kemampuan public speaking dan retorika.
Ia menyarankan agar para pendakwah mulai mempelajari teknik-teknik berbicara yang menarik, termasuk menyisipkan humor yang sehat dalam ceramah mereka.
Menurutnya, pendekatan ini dapat membuat dakwah terasa lebih santai dan tidak kaku, tanpa mengurangi esensi pesan yang ingin disampaikan.
Ia menekankan bahwa humor dalam dakwah harus digunakan secara bijak agar tidak melukai perasaan orang lain.
Dengan berlatih dan memperbaiki gaya penyampaian, para dai dapat semakin meningkatkan kualitas dakwah mereka.
K.H. Ahmad Zubaidi mengingatkan bahwa dakwah bukan hanya soal menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan yang baik kepada umat.
Dengan menjaga lisan, mengedepankan adab, dan terus meningkatkan kemampuan berbicara, para dai dapat menjalankan tugas mereka dengan lebih efektif dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Di era digital yang penuh tantangan ini, dakwah yang santun dan penuh kasih sayang menjadi kunci untuk menjaga persatuan umat Islam dan menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin.***