SwaraWarta.co.id – Pemikiran Al Ghazali tentang pendidikan akhlak mencerminkan pendekatan holistik yang mencakup tiga aspek utama, yakni dimensi pribadi, dimensi sosial, dan dimensi metafisik.
Dimensi pribadi menitikberatkan pada hubungan individu dengan Sang Pencipta, yang menjadi landasan utama dalam pembentukan akhlak.
Dimensi sosial mengacu pada peran dan tanggung jawab seseorang dalam lingkungan masyarakat, termasuk bagaimana seseorang berinteraksi secara harmonis dengan sesama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sedangkan dimensi metafisik berhubungan dengan keyakinan mendalam serta prinsip-prinsip agama yang mendasari setiap tindakan dan perilaku manusia.
Dalam pandangan Al-Ghazali, inti dari pendidikan akhlak adalah tazkiyat an-nafs, atau proses penyucian jiwa.
Proses ini bertujuan untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela seperti kesombongan, iri hati, dan serakah, sekaligus mengisi jiwa dengan sifat-sifat mulia seperti keikhlasan, kesabaran, dan kerendahan hati.
Menurut Al-Ghazali, tazkiyat an-nafs tidak hanya merupakan perjalanan spiritual, tetapi juga langkah konkret untuk menciptakan kepribadian yang unggul.
Penyucian jiwa ini terdiri atas beberapa tahapan penting.
Pertama, introspeksi diri, di mana seseorang melakukan refleksi mendalam untuk mengenali kekurangan dan kesalahan dalam perilakunya.
Kedua, penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan, yang kemudian diikuti oleh permohonan ampun kepada Allah.
Tahap terakhir adalah komitmen kuat untuk memperbaiki diri, baik dalam konteks hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia.
Melalui proses tazkiyat an-nafs, Al-Ghazali mengharapkan setiap individu mampu mencapai akhlakul karimah, atau akhlak yang mulia.
Akhlakul karimah bukan hanya tentang sikap baik secara lahiriah, tetapi juga mencakup kedalaman niat dan ketulusan hati dalam setiap perbuatan.
Pendidikan akhlak yang berlandaskan tazkiyat an-nafs ini bertujuan menciptakan individu yang tidak hanya taat secara ritual, tetapi juga memiliki dampak positif dalam kehidupan bermasyarakat.
Al-Ghazali percaya bahwa akhlakul karimah hanya bisa terwujud jika seseorang memahami prinsip-prinsip dasar agama, menghayatinya dalam hati, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, pendidikan akhlak bukan sekadar pengajaran teori, tetapi juga pembentukan karakter melalui pembiasaan dan teladan.
Pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak relevan untuk diterapkan dalam kehidupan modern, di mana tantangan moral semakin kompleks.
Dengan mengedepankan proses penyucian jiwa dan penanaman nilai-nilai luhur, manusia dapat membangun kehidupan yang lebih bermakna dan berorientasi pada kebaikan.
Melalui pemikiran Al-Ghazali, terlihat bahwa pendidikan akhlak tidak hanya berfungsi untuk membentuk individu yang religius, tetapi juga untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan bertanggung jawab.
Pada akhirnya, pendidikan akhlak menjadi pilar utama dalam menciptakan kehidupan yang penuh kedamaian, baik secara individu maupun kolektif.***