SwaraWarta.co.id – Di tengah perdebatan mengenai kualitas pendidikan di Indonesia, dua isu besar kembali mencuat pada tahun 2024: kemungkinan reintroduksi ujian nasional (UN) dan penerapan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru.
Pemerintah dan sejumlah pengamat pendidikan terus mematangkan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pendidikan di seluruh wilayah.
Salah satu poin penting dalam diskusi ini adalah dampak dari sistem zonasi pada aksesibilitas pendidikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sistem ini, yang mulai diterapkan pada tahun 2017, bertujuan untuk memastikan setiap siswa di wilayah tertentu memiliki kesempatan yang sama untuk bersekolah di sekolah yang dekat dengan tempat tinggal mereka.
Hal ini diharapkan dapat mengurangi ketimpangan antara sekolah-sekolah yang berada di kota besar dan daerah terpencil.
Namun, meskipun sistem zonasi telah mencatatkan beberapa keberhasilan dalam pemerataan, masalah baru muncul terkait kualitas pendidikan di sekolah-sekolah yang terletak di wilayah lebih terpencil atau kurang berkembang.
Berdasarkan evaluasi terbaru, sistem zonasi memang efektif untuk mengurangi kemacetan pendidikan di sekolah-sekolah favorit di kota besar.
Namun, di beberapa daerah, kualitas pendidikan di sekolah-sekolah zonasi masih kurang memadai.
Ini menyebabkan kekhawatiran bahwa siswa di daerah dengan sekolah kurang berkualitas akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang optimal, meskipun mereka tinggal di zona yang sesuai.
Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk memperkenalkan konsep zonasi mutu pendidikan, yang tidak hanya mengatur jarak geografis tetapi juga memastikan sekolah di setiap zona memiliki kualitas yang setara.
Di sisi lain, mengenai ujian nasional (UN), pemerintah berencana untuk memverifikasi apakah UN akan kembali diimplementasikan sebagai standar evaluasi kelulusan.
Ada pendapat bahwa ujian nasional membantu menjaga kualitas pendidikan dan memberikan standar yang lebih objektif untuk penilaian siswa.
Namun, banyak yang mempertanyakan keefektifannya dalam menggambarkan kualitas pendidikan secara keseluruhan, mengingat banyaknya faktor lain yang memengaruhi hasil belajar siswa.
Dengan perkembangan teknologi dan metode evaluasi yang lebih modern, sebagian pihak berpendapat bahwa ujian nasional sebaiknya digantikan dengan asesmen berbasis kompetensi yang lebih fleksibel dan holistik.
Penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan bahwa kualitas pendidikan bukan hanya soal ujian akhir atau sistem penerimaan,
tetapi juga tentang upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pengajaran, fasilitas, serta sumber daya di setiap sekolah.
Untuk itu, mengembangkan kebijakan yang mendukung pemerataan kualitas pendidikan tanpa mengorbankan aksesibilitas menjadi tantangan yang harus segera diatasi.
Dengan demikian, baik sistem zonasi maupun ujian nasional perlu dievaluasi secara menyeluruh untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi semua lapisan masyarakat.***