Salah Satu Hasil HRC – SwaraWarta.co.id (Pinterest) |
SwaraWarta.co.id – Sejak pertengahan 1980-an, tanaman hasil rekayasa genetika (transgenik) telah dikembangkan untuk memiliki ketahanan terhadap herbisida tertentu, alih-alih ketahanan terhadap predator atau hama alami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanaman yang tahan herbisida (HRC) memungkinkan pengendalian gulma secara efektif dengan menggunakan bahan Kimia, karena hanya tanaman HRC yang bisa bertahan di lahan yang diobati dengan herbisida tersebut.
Banyak HRC yang tahan terhadap glifosat (Roundup), memungkinkan aplikasi bahan kimia secara liberal yang sangat efektif melawan gulma.
Tanaman ini sangat berguna dalam pertanian tanpa olah tanah (no-till farming), yang membantu mencegah erosi tanah.
Pertanian tanpa olah tanah merupakan metode yang mengurangi gangguan terhadap tanah dengan tidak membajak atau mengolah tanah secara konvensional.
Metode ini meminimalkan erosi dan mempertahankan struktur serta kesuburan tanah.
BACA JUGA: Pemahaman Mendalam tentang Organisme Hasil Rekayasa Genetika (GMO) dan Penerapannya
Tanaman HRC memungkinkan petani untuk mengendalikan gulma secara efektif tanpa harus membajak tanah, yang pada akhirnya mendukung praktek pertanian yang lebih ramah lingkungan.
Namun demikian, penggunaan HRC masih menimbulkan kontroversi terkait dampak lingkungannya.
Karena tanaman HRC mendorong peningkatan aplikasi bahan kimia ke tanah, alih-alih menguranginya, ada kekhawatiran mengenai dampak jangka panjangnya terhadap ekosistem dan kesehatan tanah.
Peningkatan penggunaan herbisida bisa mengakibatkan pencemaran tanah dan air, serta berdampak negatif pada organisme non-target yang penting bagi keseimbangan ekosistem, seperti serangga dan mikroorganisme tanah.
Selain itu, ada risiko timbulnya gulma yang resisten terhadap herbisida.
Penggunaan herbisida yang berlebihan bisa menyeleksi gulma yang memiliki ketahanan alami terhadap bahan kimia tersebut, yang kemudian berkembang biak dan menjadi lebih sulit dikendalikan.
BACA JUGA: Dampak dan Kontroversi Tanaman Hasil Rekayasa Genetika dalam Pertanian Modern
Untuk mengurangi risiko ini, petani harus menggunakan berbagai strategi pengelolaan gulma yang beragam, termasuk rotasi tanaman, penggunaan penutup tanah, dan herbisida dengan mekanisme aksi yang berbeda.
Pendekatan terpadu ini bertujuan untuk mencegah atau menghambat perkembangan gulma resisten dan menjaga efektivitas herbisida dalam jangka panjang.
Petani juga dihadapkan pada tantangan ekonomi dan regulasi.
Tanaman HRC biasanya lebih mahal karena teknologi rekayasa genetika yang digunakan untuk mengembangkannya.
Selain itu, petani mungkin harus membayar royalti atau biaya lisensi kepada perusahaan yang memiliki hak paten atas tanaman tersebut.
Di beberapa negara, ada juga regulasi ketat mengenai penggunaan tanaman transgenik, yang bisa membatasi adopsi dan penyebarannya.
Di sisi lain, manfaat ekonomi dari tanaman HRC tidak bisa diabaikan.
Dengan kemampuan untuk mengendalikan gulma secara lebih efisien, petani dapat meningkatkan hasil panen dan mengurangi biaya tenaga kerja dan bahan bakar yang biasanya digunakan untuk mengolah tanah.
Selain itu, dengan mengurangi erosi dan menjaga kesuburan tanah, tanaman HRC dapat berkontribusi pada keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, tanaman tahan herbisida (HRC) menawarkan solusi yang signifikan untuk tantangan pengendalian gulma dalam pertanian modern.
Namun, penggunaannya harus disertai dengan pendekatan yang hati-hati dan berimbang untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Pendekatan terpadu dan berkelanjutan dalam pengelolaan gulma menjadi kunci untuk memaksimalkan manfaat HRC sambil menjaga kesehatan ekosistem dan produktivitas pertanian di masa depan.***