SwaraWarta.co.id – Kampung Mahmud adalah salah satu kampung adat yang terletak di RW 04 Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung Selatan.
Lokasinya cukup strategis, berada di tengah antara Kota Bandung dan Soreang, dengan jarak sekitar 6 km dari Soreang, ibu kota kabupaten.
Pemandangan alam di sekitarnya indah, terletak di pinggir Sungai Citarum dan dikelilingi oleh sawah yang luas. Kampung ini dihuni oleh sekitar 1200 orang, yang tersebar di 1 RW dan 4 RT.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, pedagang, sopir, serta pegawai negeri atau swasta. Kampung Mahmud dikenal memiliki tata cara hidup yang sangat kuat berlandaskan ajaran agama Islam.
Asal Usul Nama Kampung Mahmud
Nama “Mahmud” berasal dari bahasa Arab Mahmuudah, yang berarti pujian. Namun, makna “pujian” di sini bukan berarti “terpuji,” melainkan lebih merujuk pada rasa bangga (reueus) atau kasih sayang yang tulus (deudeuh).
Sejarah Kampung Mahmud
Kampung Mahmud didirikan sekitar abad ke-15 oleh seorang tokoh bernama Sembah Eyang Abdul Manaf, yang merupakan keturunan dari Syarif Hidayatullah.
Eyang Abdul Manaf pernah hidup lama di Mekah sebelum kembali ke tanah kelahirannya.
Saat berada di Mekah, ia mendapat petunjuk untuk menemukan tempat yang tidak akan dijajah oleh bangsa asing, khususnya Belanda.
Setelah kembali, ia menemukan daerah berawa di pinggir Sungai Citarum dan memutuskan untuk mendirikan kampung di sana.
Eyang Abdul Manaf juga membawa tanah suci dari Mekah yang ia tanam di lokasi kampung tersebut, yang kini dikenal sebagai Kampung Mahmud.
Karena tanah di daerah itu masih labil, ada aturan yang melarang pembangunan rumah dengan tembok atau kaca, serta melarang membuat sumur.
Sebagai gantinya, penduduk memanfaatkan air dari Sungai Citarum untuk kebutuhan sehari-hari. Nama “Mahmud” diambil dari nama tempat di Mekah, yaitu Gubah Mahmud, tempat di mana Eyang Abdul Manaf berdoa sebelum pulang ke tanah air.
Peran Kampung Mahmud dalam Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda, Kampung Mahmud sering dijadikan tempat persembunyian bagi para pejuang.
Hingga kini, keturunan Eyang Abdul Manaf masih menghuni kampung tersebut, dan makamnya pun masih dijaga dengan baik.
Masyarakat Kampung Mahmud sangat menghormati makam leluhurnya, yang dikenal dengan nama Makam Mahmud.
Kehidupan Religi Masyarakat Kampung Mahmud
Warga Kampung Mahmud sangat taat beragama Islam dan juga sangat menghormati leluhur mereka.
Eyang Abdul Manaf dikenal sebagai seorang yang sangat mendalami ajaran Islam dan hidup sederhana.
Nilai-nilai ini diwariskan kepada keturunannya, sehingga kehidupan masyarakat Kampung Mahmud sangat dipengaruhi oleh ajaran agama dan kesederhanaan.
Larangan di Kampung Mahmud
Beberapa larangan atau pantangan di Kampung Mahmud diwariskan dari leluhur dan masih dipatuhi hingga kini. Larangan tersebut antara lain:
– Dilarang membangun rumah bertembok dan berkaca.
– Dilarang memukul gong.
– Dilarang memelihara angsa.
– Dilarang membuat sumur.
Beberapa larangan ini berkaitan dengan masa penjajahan Belanda. Misalnya, larangan memukul gong dan memelihara angsa bertujuan untuk menghindari perhatian penjajah, karena suara gong dan angsa dianggap menandakan adanya keramaian.
Makam Leluhur Kampung Mahmud
Di Kampung Mahmud terdapat tiga makam penting yang dianggap keramat, yaitu:
1. Makam Eyang Abdul Manaf
2. Makam Sembah Eyang Dalem Abdullah Gedug
3. Makam Sembah Agung Zaenal Arif
Pengunjung yang ingin ziarah ke makam-makam ini harus mematuhi aturan seperti berwudhu, mengenakan pakaian yang sopan, dan melepas sandal atau sepatu saat memasuki area makam.
Masyarakat Kampung Mahmud biasanya melakukan ziarah pada hari Jumat. Makam Eyang Abdul Manaf adalah yang paling besar dan paling banyak dikunjungi oleh para peziarah.
Dengan segala tradisi dan keyakinan yang diwariskan dari leluhur, Kampung Mahmud tetap mempertahankan nilai-nilai adatnya hingga sekarang, meskipun berada di tengah arus modernisasi.