SwaraWarta.co.id – Perbedaan di antara manusia adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri dan merupakan bagian dari sifat alami manusia.
Manusia memiliki moral dan sifat yang berbeda, serta sering kali berselisih dan berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan duniawi seperti kekayaan, status, dan hal-hal semacamnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Allah Yang Maha Tinggi berfirman dalam Al-Quran (yang artinya): “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.”(QS. Hud: 118-119).
Ibn Katheer, seorang ulama besar, berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan bahwa manusia akan selalu berbeda dalam hal agama, keyakinan, ideologi, afiliasi, dan pandangan.
Namun, perbedaan ini tidak seharusnya menyebabkan konflik, putusnya hubungan, atau perpecahan.
Banyak masalah dan perselisihan yang terjadi antara seorang Muslim dan saudaranya, antara suami dan istri, atau antara teman, sering kali disebabkan oleh pikiran buruk dan keraguan yang ditanamkan oleh setan di hati manusia.
Ketika seseorang menuruti bisikan tersebut, hal itu dapat menyebabkan permusuhan, perselisihan, dan perpecahan di antara mereka.
Nabi Muhammad, SAW, pernah menyinggung hal ini dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Setan telah berputus asa untuk disembah oleh orang-orang Arab, tetapi ia masih berharap dapat menghasut mereka untuk saling bermusuhan.”
At-Teebi, seorang ulama terkemuka, berkomentar bahwa yang dimaksud adalah menghasut mereka untuk berpecah belah, saling membenci, dan bahkan saling membunuh.
Sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi SAW, bersabda:
“Setan menempatkan singgasananya di atas air, kemudian ia mengirim pasukannya kepada manusia. Yang paling dekat dengannya adalah yang paling banyak menimbulkan kerusakan. Salah satu dari mereka datang kepadanya dan berkata: ‘Saya melakukan ini dan itu.’ Setan menjawab: ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Hingga salah satu dari mereka datang dan berkata: ‘Saya tidak meninggalkan orang tersebut sampai saya berhasil memisahkannya dari istrinya.’ Maka Setan mendekatkannya kepadanya dan berkata: ‘Kamu telah melakukan pekerjaan yang baik!’” (HR. Muslim).
Al-Qadhi ‘Iyadh, ulama besar lainnya, menjelaskan bahwa ungkapan “kamu telah melakukan pekerjaan yang baik” bermakna bahwa iblis menganggap pemisahan suami-istri sebagai kerusakan terbesar yang bisa ditimbulkan, dan pelaku dari kerusakan ini menjadi yang terdekat dengannya.
Ini menunjukkan betapa besarnya bahaya dari perpisahan suami-istri, kerusakan yang ditimbulkannya, dan betapa seriusnya dosa orang yang sengaja berusaha memisahkan pasangan suami-istri.
Perpisahan antara suami dan istri dianggap sebagai perbuatan yang sangat berbahaya karena melibatkan pemutusan ikatan sakral yang telah diperintahkan Allah untuk dijaga.
Ikatan tersebut dibangun atas dasar kasih sayang dan cinta yang ditanamkan oleh Allah, serta membentuk sebuah keluarga yang seharusnya berlandaskan ajaran Islam.
Ketika keluarga hancur, bukan hanya hubungan antara pasangan yang terputus, tetapi juga fondasi keimanan dan kebahagiaan dalam rumah tangga menjadi runtuh. Ini membuka peluang bagi para pelakunya untuk terjerumus ke dalam dosa.
Kisah hidup Nabi Muhammad SAW, atau yang dikenal sebagai Seerah, penuh dengan contoh dan hadits yang menegaskan larangan perpecahan dan peringatan akan bahaya yang ditimbulkan olehnya.
Islam dengan tegas memerintahkan umatnya untuk berusaha mendamaikan orang-orang yang berselisih, karena rekonsiliasi berarti menjaga tali persaudaraan yang terputus dan memperkuat ikatan persahabatan yang melemah.
Dalam Islam, memperbaiki hubungan yang rusak dianggap sebagai tindakan mulia yang sangat dianjurkan.
Ini tidak hanya berlaku dalam hubungan antara suami dan istri, tetapi juga dalam hubungan antara teman, keluarga, bahkan antara anggota masyarakat.
Salah satu bentuk ibadah yang besar dalam Islam adalah menjaga silaturahmi, atau hubungan persaudaraan, terutama ketika terjadi konflik atau perselisihan. Rasulullah SAW, dalam banyak kesempatan mengajarkan pentingnya memaafkan dan menghindari perpecahan.
Dalam sebuah hadits, Beliau bersabda: “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari, dimana keduanya bertemu, namun masing-masing saling berpaling. Yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai memberi salam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini menunjukkan bahwa Islam menempatkan perdamaian dan rekonsiliasi di atas segalanya.
Selain itu, Islam juga memperingatkan bahaya fitnah, atau penyebaran kabar buruk yang tidak benar, yang sering kali menjadi sumber utama perselisihan di kalangan masyarakat.
Fitnah dapat menghancurkan hubungan yang baik, menciptakan ketidakpercayaan, dan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk selalu menjaga lisannya dan berusaha menyebarkan kebaikan, bukan keburukan.
Dalam menghadapi perbedaan, Islam mengajarkan untuk selalu mencari jalan tengah dan menghindari tindakan yang dapat memicu perpecahan.
Setiap perbedaan, baik itu dalam keyakinan, pandangan, atau pemikiran, seharusnya menjadi peluang untuk saling memahami dan memperkaya satu sama lain, bukan alasan untuk bermusuhan.
Perselisihan dan konflik adalah hal yang wajar dalam kehidupan manusia, tetapi dengan akhlak mulia dan bimbingan dari ajaran Islam, umat Muslim diajarkan untuk selalu mencari solusi yang membawa pada perdamaian dan keridhaan Allah.***