SwaraWarta.co.id – Diberitakan pada hari Selasa, 3 September, kantor presiden Amerika Serikat menyampaikan bahwa proposal yang diajukan oleh Israel untuk mengakhiri konflik di Jalur Gaza mencakup penarikan pasukan Israel dari area berpenduduk padat di sepanjang zona kritis antara Gaza dan Mesir.
Akan tetapi, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan penolakannya terhadap usulan tersebut, terutama mengenai Koridor Philadelphi, yang dilihatnya sebagai jalur penting bagi Hamas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut John Kirby, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, kesepakatan yang diusulkan oleh Israel menyatakan bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) harus ditarik dari semua area berpenduduk padat sebagai bagian dari tahap awal proses.
Kirby menjelaskan bahwa area yang dimaksud mencakup daerah-daerah yang terletak di sekitar atau berdekatan dengan Koridor Philadelphi, sebuah wilayah strategis di perbatasan Gaza-Mesir.
Salah satu titik penting di koridor ini adalah penyeberangan perbatasan Rafah, yang merupakan satu-satunya akses antara Gaza dan Mesir.
Meskipun terdapat usulan penarikan pasukan, Netanyahu pada hari Minggu, 1 September, menegaskan bahwa Israel tidak akan menarik pasukannya dari Koridor Philadelphi.
Ia berpendapat bahwa penarikan pasukan akan membahayakan kendali Israel atas perbatasan Mesir-Gaza, yang dianggapnya sebagai jalur vital bagi Hamas.
Netanyahu menekankan pentingnya mempertahankan kehadiran militer di koridor tersebut untuk mencegah ancaman dari kelompok-kelompok militan.
Penolakan Netanyahu ini telah memicu ketegangan di dalam kabinetnya sendiri. Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keputusan Netanyahu.
Gallant menilai bahwa kontrol Israel atas Koridor Philadelphi adalah sebuah hambatan yang tidak perlu, dan menciptakan ketegangan yang tidak diinginkan.
Ketidaksepakatan ini semakin jelas saat dalam pemungutan suara kabinet, Gallant menjadi satu-satunya anggota yang menentang keputusan untuk mempertahankan pasukan Israel di koridor tersebut.
Sementara itu, di sisi lain, seorang pejabat Hamas yang terlibat dalam negosiasi gencatan senjata dengan Israel mengungkapkan bahwa Netanyahu terus menerus mengajukan persyaratan baru yang menyebabkan kemunduran dalam proses negosiasi.
Pejabat tersebut menyebutkan bahwa setiap kali mendekati kesepakatan, Israel selalu kembali ke awal dan memulai proses baru.
Hal ini menimbulkan frustrasi, karena Israel dinilai tidak melakukan negosiasi dengan itikad baik, melainkan memaksakan kehendak.
Kemarahan publik di Israel terhadap pemerintahan Netanyahu semakin meningkat, terutama setelah militer Israel mengumumkan pada hari Minggu bahwa mereka telah menemukan jasad enam sandera di Gaza selatan.
Hal ini memicu seruan dari serikat buruh terbesar di Israel, Histadrut, untuk melakukan pemogokan umum selama satu hari.
Pemogokan ini bertujuan untuk menekan pemerintah agar segera mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan dengan Hamas.
Dalam upaya untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir terus berusaha menjadi penengah antara Israel dan Hamas.
Negosiasi ini berfokus pada pertukaran tahanan, pemberlakuan gencatan senjata, serta memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Namun, dengan adanya perbedaan pendapat yang tajam dan sikap keras dari kedua belah pihak, solusi untuk konflik ini masih jauh dari jangkauan.
Dengan situasi yang terus memanas, masa depan gencatan senjata dan stabilitas di kawasan ini masih sangat tidak pasti, sementara tekanan internasional untuk menyelesaikan konflik ini terus meningkat.***