Swarawarta.co.id – Kuasa hukum suami Cut Intan Nabila menginginkan adanya penyelesaian damai antara kliennya dan istrinya.
Jika kasus ini berlanjut ke pengadilan, Komnas Perempuan berharap Armor, yang diduga melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), akan mengikuti program konseling untuk mengubah perilakunya.
“Karenanya Komnas Perempuan mendukung kasus ini untuk diproses sampai pengadilan dengan pendekatan restoratif, di mana pelaku mendapatkan hukuman dan pemulihan psikologis dalam bentuk kewajiban mengikuti program konseling sebagaimana dimandatkan UU PKDRT dan korban termasuk anak anak mendapatkan pemulihan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tadi kepada wartawan, Jumat (16/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut polisi, kekerasan yang dilakukan Armor terhadap Cut Intan telah terjadi sejak tahun 2020. Siti, seorang ahli, menyoroti adanya pola kekerasan berulang dalam kasus KDRT
“Juga hakim mewajibkan untuk mengikuti program konseling untuk perubahan perilakunya, agar pelaku KDRT mengubah cara pikir dalam relasi laki-laki dan perempuan serta mampu mengelola masalah tanpa kekerasan,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa kekerasan dalam sebuah hubungan seringkali melalui empat fase: ketegangan atau konflik, kekerasan, minta maaf atau fase bulan madu, dan kemudian hubungan yang tampak membaik.
“Terkait penyelesaian secara restorative justice (RJ), kami ingin meluruskan bahwa RJ tidak boleh diartikan penghentian proses hukum. Keadilan restoratif merupakan pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan korban, internalisasi pertanggungjawaban pelaku, serta perbaikan kondisi masyarakat,” katanya.
“Sehingga tujuannya adalah untuk mengembalikan keadaan yang telah rusak/hancur akibat adanya peristiwa pidana kepada kondisi semula (sebelum terjadinya perbuatan pidana), di mana hal itu dapat dilakukan dengan menitikberatkan proses pelibatan pelaku, korban, keluarga korban atau pelaku, dan pihak lainnya,” imbuhnya.
Pengacara Armor menyatakan bahwa kliennya bersedia mempertimbangkan restorative justice dalam kasus ini.
Namun, Siti menekankan bahwa restorative justice tidak boleh diartikan sebagai penghentian proses hukum, melainkan harus berfokus pada pemulihan korban.
Ia juga mengingatkan agar restorative justice tidak mengarah pada pengampunan pelaku, karena hal ini bisa meningkatkan risiko pelaku mengulangi tindakan KDRT.
“RJ yang tidak dipahami secara baik akan menyebabkan impunitas dan keberulangan kekerasan, mengabaikan pemulihan korban, dan membangun budaya yang mengutamakan citra semu harmoni keluarga,” tuturnya