Tapera di Mata Hasto Kristiyanto – SwaraWarta.co.id (Ekbis) |
SwaraWarta.co.id – Masih dari ingar bingar permasalahan kontroversi Tapera, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, ikut berkomentar, ia menyatakan bahwa iuran untuk Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera bagi pekerja harusnya tidak bersifat wajib.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernyataan tersebut disampaikannya pada saat sedang berada di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, pada Senin (3/6/2024).
Menurut Hasto, soal Tapera ini, ketentuannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, akan tetapi dia tidak merinci undang-undang yang dimaksud.
Hasto menegaskan bahwa peraturan mengenai tabungan pembangunan perumahan menyatakan bahwa iuran tersebut tidak wajib.
Dia juga menyebutkan pula bahwa apabila Tapera diwajibkan, maka hal tersebut bisa dianggap sebagai bentuk penindasan yang baru melalui legalisme otokratis yang harusnya tidak terjadi di republik ini.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 21 Tahun 2024 yang kemudian diubah ke PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera.
Dalam Pasal 7 PP tersebut disebutkan bahwa berbagai jenis bidang pekerjaan, termasuk pekerja atau karyawan swasta, harus menjadi peserta Tapera, tidak hanya ASN, pegawai BUMN, ataupun aparat TNI-Polri.
BACA JUGA: Tapera: Pemerintah Untung, Pelaku Usaha dan Pekerja Babak Belur! Siap-siap Pengurangan Karyawan
Menurut aturan yang telah diberlakukan tersebut, kisaran simpanan dana Tapera yang harus dibayarkan setiap bulannya sebesar 3 % dari gaji pekerja atau upah yang bersangkutan.
Pembagian setoran ini adalah sebanyak 0,5 % ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 % oleh pekerja.
Sementara untuk pekerja mandiri atau freelancer, seluruh setoran yang harus dibayarkan ditanggung sendiri oleh pekerja yang bersangkutan tersebut.
Selain itu, pemberi kerja diwajibkan menyetorkan simpanan Tapera setiap bulan, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya ke Rekening Dana Tapera.
Ketentuan yang sama juga berlaku bagi para freelancer.
Pemerintah memberikan batas waktu kepada para pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya kepada Badan Pengelola (BP) Tapera paling lambat tujuh tahun sejak tanggal berlakunya PP yakni 25/2020.
Namun, Hasto berpendapat bahwa kewajiban ini seharusnya tidak diterapkan karena tentunya dapat memberatkan para pekerja.
Menurutnya, apabila Tapera menjadi peraturan wajib, maka ini dapat dilihat sebagai bentuk baru dari penindasan melalui penggunaan hukum yang otokratis.
BACA JUGA: Semua Bidang Usaha Dipaksa Ikut Tapera, Begini Sanksinya Bila Tidak Patuh!
Pernyataan Hasto tersebut tentu saja mengundang berbagai reaksi, mengingat pentingnya program Tapera dalam membantu pekerja untuk memiliki rumah.
Pada dasarnya, Tapera dirancang untuk memfasilitasi kepemilikan rumah bagi para pekerja melalui skema tabungan bersama.
Akan tetapi, meskipun bertujuan mulia, skema ini tetap menimbulkan perdebatan terkait keadilan dan kewajibannya bagi seluruh pekerja, karena sifatnya diwajibkan.
Program Tapera sendiri, yang telah dimulai sejak beberapa tahun lalu, merupakan upaya pemerintah untuk menjawab kebutuhan akan perumahan yang terjangkau.
Pemerintah berharap melalui program ini, para pekerja bisa lebih mudah mengakses pembiayaan perumahan.
Namun kebijakan ini mendapatkan kritik datang dari berbagai pihak, termasuk Hasto, yang merasa bahwa kewajiban iuran ini dapat memberatkan pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.
PP Nomor 21 Tahun 2024 juga mencakup ketentuan bahwa pemberi kerja harus memastikan pekerjanya terdaftar dalam program Tapera.
Ketentuan ini diharapkan dapat mendorong partisipasi pekerja dalam program tersebut, meskipun dengan adanya kritik mengenai sifat wajibnya iuran, diskusi mengenai implementasi dan dampaknya terhadap pekerja terus berlanjut.
Dengan latar belakang ini, pernyataan Hasto menambah lapisan diskusi mengenai bagaimana kebijakan perumahan yang adil dan efektif dapat diterapkan di Indonesia.
Pemerintah perlu menimbang masukan dari berbagai pihak, termasuk perwakilan pekerja dan pengusaha, untuk memastikan bahwa program Tapera tidak hanya adil, tetapi juga tidak membebani mereka yang paling rentan dalam struktur ekonomi.
Debat mengenai Tapera ini menunjukkan kompleksitas kebijakan publik di bidang perumahan, terutama dalam mencari keseimbangan antara kebutuhan pembangunan perumahan yang mendesak dan kemampuan finansial pekerja serta pemberi kerja.***