SwaraWarta.co.id – Ainur Wahyudi (39), Kepala Desa Mojowono, Kemlagi, Mojokerto, kini harus mendekam di tahanan karena kasus korupsi.
Ia diduga merugikan negara hingga Rp 120,7 juta akibat menyalahgunakan anggaran proyek pembangunan penerangan jalan lingkungan (PJL) di desanya pada tahun 2017.
Wahyudi, warga Dusun Segawe Kidul, mengaku nekat melakukan korupsi karena terlilit utang besar, mencapai Rp 800 juta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Utang tersebut ia gunakan untuk biaya mencalonkan diri sebagai kepala desa dalam Pilkades 2014. Sayangnya, pada periode kedua, ia kalah dalam pemilihan.
“Untuk bayar utang Pilkades yang sebelumnya, tahun 2014. Untuk menjadi kepala desa saya punya utang Rp 800 juta. Periode kedua, kalah,” ungkapnya saat jumpa pers di Mapolres Mojokerto Kota, Jalan Bhayangkara, Rabu (15/1)
Wahyudi menjabat sebagai Kades Mojowono periode 2014-2019. Pada tahun 2017, desanya mendapatkan anggaran sebesar Rp 235 juta dari APBDes untuk pembangunan 64 titik PJL. Namun, proyek tersebut sama sekali tidak dilaksanakan.
Wahyudi hanya mencairkan dana tersebut melalui Bank Jatim dengan bantuan bendahara desa, lalu menggunakannya untuk membayar utang.
Guna menutupi aksinya, ia memalsukan laporan pertanggungjawaban (LPJ) dan buku kas umum desa tahun 2017.
Tak hanya itu, ia bahkan meminjam uang dari seorang teman sebesar Rp 114 juta pada tahun 2018 untuk melaksanakan sebagian proyek yang tertunda.
Sayangnya, realisasi proyek pada 2018 hanya sekitar 50%, sedangkan proyek tahun 2017 sepenuhnya fiktif. Akibat tindakannya, negara dirugikan sebesar Rp 120,7 juta.
Ketika ditetapkan sebagai tersangka dan dipanggil untuk diperiksa pada Agustus 2023, Wahyudi memilih melarikan diri ke Kalimantan.
Dengan bermodal Rp 3 juta dan keterampilan mengemudi truk, ia berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai sopir di perusahaan pemotongan kayu di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Namun, pelarian itu berakhir pada Minggu (12/1/2025) tengah malam. Wahyudi ditangkap polisi di mess karyawan perusahaan tempat ia bekerja.
Kini, Wahyudi mendekam di Rutan Polres Mojokerto Kota. Ia dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Kasus ini menjadi pelajaran mahal tentang tingginya biaya demokrasi di tingkat desa, yang seringkali menjadi awal mula tindak korupsi.