SwaraWarta.co.id – Dari dunia hukum dan kriminalitas, kasus perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan kembali mencuat setelah tiga warga negara Indonesia (WNI) menjadi korban praktik ini.
Para korban diduga dijebak melalui janji manis pernikahan dengan pria asal Tiongkok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Umum Persatuan Buruh Migran, Anwar Maarif Anwar, meminta Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk memberikan bantuan hukum bagi para korban.
Ia juga berharap pihak Kemlu dapat berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk mempercepat proses hukum.
Menurut Anwar, kasus ini melibatkan unsur kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sehingga harus ditangani berdasarkan Undang-Undang KDRT.
Ia menyebut bahwa para korban mengalami kekerasan fisik yang serius, seperti dipukul menggunakan kursi.
Anwar juga mengungkapkan bahwa kasus ini telah dilaporkan ke Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO) Polri pada 11 Januari 2025. Saat ini, laporan tersebut masih dalam proses penanganan.
Anwar memberikan apresiasi kepada Polda Metro Jaya atas keberhasilan mereka dalam menangkap sembilan tersangka yang terlibat dalam kasus perdagangan orang bermodus pengantin pesanan.
Ia menilai bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab maraknya kasus ini. Banyak korban yang tergiur dengan janji perbaikan ekonomi sehingga terjebak dalam praktik perdagangan orang.
Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya sebelumnya berhasil mengungkap kasus ini di Tangerang.
Dua tersangka utama, yakni H alias CE (36) dan N alias A (56), ditangkap di Terminal C3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada 10 November 2024.
Dalam konferensi pers yang digelar pada 6 Desember 2024, Komisaris Besar Polisi Wira Satya Triputra menjelaskan bahwa kedua tersangka memiliki hubungan kerja sebelumnya.
Tersangka N pernah menjadi sopir pribadi H sebelum akhirnya terlibat dalam praktik perdagangan orang.
H diketahui meminta N untuk mencari calon pengantin dari keluarga tidak mampu.
Para korban dijanjikan bayaran sebesar Rp15 juta per kepala, yang akan diberikan setelah mereka tiba di Tiongkok. Salah satu korban, RD, bersama AA, diiming-imingi uang mahar sebesar Rp100 juta dan satu set perhiasan.
Janji tersebut membuat para korban menyetujui pernikahan dengan pria asal Tiongkok.
Pertemuan antara korban dan calon pengantin berlangsung di rumah H di Semarang, Jawa Tengah.
Dalam pertemuan tersebut, pernikahan langsung dijadwalkan secara tidak resmi atau di bawah tangan.
Setelah itu, para korban dipersiapkan untuk diberangkatkan ke Tiongkok.
Kasus ini menunjukkan bahwa perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan masih menjadi ancaman serius, terutama bagi perempuan dari keluarga kurang mampu.
Praktik ini tidak hanya merugikan korban secara fisik dan mental tetapi juga mencederai martabat manusia.
Anwar berharap bahwa penegakan hukum terhadap kasus ini dapat memberikan efek jera bagi pelaku.
Ia juga meminta pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan edukasi bagi masyarakat agar tidak mudah terjebak dalam praktik serupa.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya kerja sama antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat, untuk mencegah perdagangan orang.
Dengan langkah-langkah preventif yang lebih ketat, diharapkan tidak ada lagi korban yang terjebak dalam jebakan pengantin pesanan atau bentuk perdagangan orang lainnya.***