SwaraWarta.co.id – Diberitakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
resmi mencabut sejumlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pagar laut yang terletak di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Tangerang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sertifikat tersebut, termasuk milik PT Intan Agung Makmur (IAM), anak perusahaan PIK2 yang beroperasi di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, dinyatakan cacat prosedur dan materil sehingga batal demi hukum.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menyatakan bahwa pencabutan ini merupakan hasil evaluasi mendalam terhadap penerbitan sertifikat tersebut.
Ia menjelaskan, penelitian terhadap dokumen yuridis dilakukan secara menyeluruh, termasuk pemeriksaan data di kantor BPN dan balai desa setempat.
Berdasarkan penelusuran, ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan yuridis yang berlaku, terutama terkait batas daratan dan garis pantai di wilayah Desa Kohod.
Nusron menekankan bahwa secara faktual, lahan yang tertera dalam sertifikat sudah tidak ada secara fisik karena berada di bawah laut.
Hal ini menjadi alasan utama yang mendasari keputusan pembatalan sertifikat tersebut.
Proses ini dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam membatalkan sertifikat yang dinyatakan cacat hukum.
Berdasarkan data yang disampaikan, terdapat 263 sertifikat SHGB dan SHM yang berada di wilayah bawah laut di Desa Kohod.
Dari jumlah tersebut, sekitar 50 sertifikat telah dicabut dan dibatalkan penerbitannya.
Proses pembatalan dilakukan secara bertahap, mengingat jumlah sertifikat yang bermasalah cukup banyak.
PT Intan Agung Makmur, sebagai salah satu pemegang sertifikat yang dicabut, diketahui memiliki keterkaitan dengan Agung Sedayu Group,
sebuah perusahaan pengembang besar yang dimiliki oleh Sugianto Kusuma alias Aguan.
PT IAM sendiri baru didirikan pada 6 Juni 2023, berdasarkan Surat Keputusan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor AHU-0040990.AH.01.01.Tahun 2023.
Dalam penjelasannya, Nusron menyebut bahwa pelanggaran ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga material.
Garis pantai yang seharusnya menjadi batas daratan telah dilanggar, sehingga penerbitan sertifikat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Ia juga menambahkan bahwa pembatalan sertifikat ini dilakukan demi menjaga kepastian hukum dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya tanah di wilayah pesisir.
Proses penyelesaian kasus ini akan terus dilanjutkan oleh Kementerian ATR/BPN. Nusron menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk menuntaskan masalah ini secepat mungkin.
Namun, ia mengakui bahwa prosesnya memerlukan waktu karena setiap sertifikat harus diperiksa secara rinci untuk memastikan keabsahan tindakan pembatalan.
Melalui langkah ini, Kementerian ATR/BPN berharap dapat memberikan pesan tegas bahwa penerbitan sertifikat tanah harus dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Keputusan ini juga diharapkan dapat menjadi contoh bagi kasus-kasus serupa di wilayah lain, sehingga tidak ada lagi pelanggaran terhadap garis pantai dan batas wilayah yang ditetapkan secara hukum.
Dengan pembatalan sertifikat yang cacat hukum ini, pemerintah menunjukkan komitmennya untuk menjaga keadilan dan keberlanjutan lingkungan, khususnya di kawasan pesisir yang rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hukum.***