SwaraWarta.co.id – Disebutkan bahwa MUI menyatakan keberatan terhadap usulan penggunaan zakat sebagai salah satu sumber pembiayaan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ketua MUI, KH Muhammad Cholil Nafis, menegaskan bahwa zakat memiliki ketentuan khusus yang diatur dalam agama, sehingga penggunaannya tidak dapat disesuaikan untuk program semacam itu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Cholil menjelaskan bahwa penerima zakat telah diatur secara spesifik dalam ajaran agama Islam, yaitu hanya untuk kelompok tertentu yang memenuhi kriteria.
Selain itu, ia menilai bahwa penggunaan zakat untuk MBG kurang pantas karena tidak semua siswa yang menjadi sasaran program ini berasal dari keluarga kurang mampu.
Ia juga menambahkan bahwa tidak semua siswa beragama Islam, sedangkan zakat diperuntukkan hanya bagi umat Islam sesuai ketentuan agama.
Hal serupa juga berlaku untuk dana infaq dan shodaqah yang dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) maupun Lembaga Amil Zakat (Lazis).
Cholil menegaskan bahwa dana-dana tersebut memiliki peruntukan yang jelas dan tidak seharusnya digunakan untuk tujuan lain yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Sebagai alternatif, Cholil menyarankan agar pemerintah memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan swasta.
Ia juga mengingatkan bahwa pendanaan program MBG semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah yang dapat dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurutnya, pemerintah harus konsisten dengan janji dan prioritas program yang telah dicanangkan.
Ketua Asosiasi Pembangunan Sosial Indonesia, Nurhadi, turut memberikan pandangan serupa.
Ia menyarankan agar dana CSR atau hibah dari luar negeri dijadikan sumber pembiayaan program MBG.
Nurhadi menekankan bahwa dana filantropi seperti zakat, infaq, dan shodaqah memiliki aturan dan etika yang ketat.
Ia mengingatkan bahwa zakat sudah memiliki ketentuan jelas mengenai siapa yang berhak menerimanya.
Selain itu, lembaga pengelola zakat seperti Lazis harus bertanggung jawab kepada masyarakat atas dana yang mereka kumpulkan.
Nurhadi juga mempertanyakan apakah masyarakat yang telah menyerahkan zakat, infaq, dan shodaqah setuju jika dana tersebut digunakan untuk mendanai program MBG.
Menurutnya, aspek ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Nurhadi menambahkan bahwa pemerintah perlu mencari solusi yang tidak melibatkan dana filantropi yang sudah memiliki peruntukan khusus.
Pendanaan program MBG, menurutnya, sebaiknya berasal dari sumber yang lebih fleksibel seperti CSR, hibah, atau APBN.
Hal ini penting agar tidak menimbulkan kontroversi atau pelanggaran terhadap aturan yang sudah ada.
Dengan adanya penolakan dari MUI dan berbagai pihak terkait, diharapkan pemerintah dapat mengevaluasi kembali rencana pendanaan program MBG.
Selain itu, langkah ini juga menjadi pengingat pentingnya menghormati ketentuan agama dan etika dalam pengelolaan dana filantropi.
Pemerintah diharapkan mampu menghadirkan solusi pendanaan yang lebih sesuai tanpa melibatkan dana zakat, infaq, dan shodaqah.***