Swarawarta.co.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan selama seminggu di sejumlah sekolah mulai menuai berbagai tanggapan, terutama dari para pedagang kantin.
Mereka mengeluhkan dampak penurunan pendapatan akibat berkurangnya pembeli di kantin.
Indah (45), pemilik warung di SDN Lengkong Gudang, Tangerang Selatan, mengungkapkan bahwa pendapatannya merosot hingga 50 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ya saya setuju kalau misal pemerintah bisa melibatkan pihak kantin sekolah juga, mungkin untuk makanan kecilnya,” harap Indah.
Beberapa menu dagangannya bahkan harus dikurangi karena minimnya permintaan.
“Biasanya itu Rp 200 ribu, paling kecil Rp 80 ribu. Tapi ini kemarin cuma Rp 40 ribu. Kalo itu buat apa? Buat belanja sembako aja kurang. Makanya kemarin saya enggak jualan dari hari Rabu, cuma jualan di hari Senin sama Selasa doang, dapatnya juga 40-40,” ucap Yanti.
Meski merasa program ini meringankan beban orang tua dalam memenuhi kebutuhan gizi anak, ia khawatir karena pendapatan kantin yang sepi memengaruhi perekonomiannya.
Indah berharap pemerintah dapat mencari solusi yang tetap mendukung keberlangsungan usaha kantin sekolah.
Sebab hasil dari berjualan di kantin merupakan sumber utama penghasilan keluarganya.
Senada dengan Indah, Yanti yang juga pedagang kantin di SDN Lengkong Gudang merasakan penurunan keuntungan yang signifikan.
“Sekarang itu nyari uang 100 ribu itu susah banget. Mana anak saya masih kuliah, suami udah meninggal. Enggak dapat bantuan, janda juga gak dapat apa-apa. BPJS saya yang bayar, boro-boro beras raskin dapat, ini mah kagak,” ungkap Yanti.
Berbagai camilan seperti martabak mini, makaroni, hingga es mambo yang ia jual tidak lagi selaris sebelumnya.
Pendapatan yang menurun membuatnya kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk biaya belanja sembako dan setoran sewa tempat.
Yanti kini mulai mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan lain karena merasa berjualan di kantin tidak lagi memberikan penghasilan yang memadai.
“Kantinnya nyewa, sehari Rp 10 ribu, pertama masuknya Rp 2,5 juta terus setiap hari kalau saya masuk itu, saya kasih 10 ribu, ya berarti dapatnya tinggal Rp 40 ribu,” ujar Yanti.
Jam operasional yang panjang dari pagi hingga sore hari tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat, membuatnya semakin terdesak untuk beralih profesi demi mencukupi kebutuhan hidupnya.