SwaraWarta.co.id – Menjadi sebuah keharusan apabila keluarga memiliki peranan penting dalam membentuk karakter anak, khususnya bagi anak penyandang disabilitas.
Hal ini disampaikan oleh Fatma Saifullah Yusuf, Penasihat Dharma Wanita Persatuan Kementerian Sosial (DWP Kemensos),
dalam sebuah talkshow bertema “Peran Keluarga dalam Membentuk Karakter Kepemimpinan Penyandang Disabilitas” yang digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, pada Senin (2/12/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Acara tersebut merupakan bagian dari peringatan Hari Disabilitas Internasional.
Menurut Fatma, keluarga, terutama orang tua, berperan sebagai fondasi utama dalam membangun kepercayaan diri dan nilai-nilai kepemimpinan anak.
“Keluarga harus memberikan dukungan emosional dan psikologis agar anak dengan disabilitas memiliki rasa percaya diri untuk berperan aktif di lingkungan sosial,” ungkap Fatma.
Ia menegaskan, keluarga merupakan lingkungan pertama yang membentuk nilai-nilai, sikap, dan keterampilan anak.
Dengan demikian, tanggung jawab keluarga tidak hanya berhenti pada dukungan emosional, tetapi juga mencakup pemberian akses untuk mengembangkan bakat dan minat anak.
“Melalui pendidikan dan pelatihan yang tepat, keluarga dapat membantu anak menyadari potensinya,” tambahnya.
Fatma juga menyoroti pentingnya menanamkan nilai-nilai kerja keras, tanggung jawab, empati, dan integritas sejak dini.
Ia berharap, dengan karakter kepemimpinan yang kokoh, lebih banyak penyandang disabilitas yang mampu menjadi pemimpin dan berkontribusi dalam pengambilan keputusan yang mengakomodasi kebutuhan komunitas mereka.
Ketua Perkumpulan Orang Tua Anak Disabilitas Indonesia (Portadin), Hendratmoko, turut mendukung pandangan ini.
Ia menekankan bahwa tanggung jawab membesarkan anak dengan disabilitas tidak hanya menjadi tugas ibu, tetapi juga ayah serta anggota keluarga lainnya.
Hendratmoko menambahkan bahwa nilai-nilai kepemimpinan seperti disiplin, tanggung jawab, dan kejujuran harus diajarkan kepada semua anak, termasuk penyandang disabilitas.
Ia menegaskan bahwa standar ini berlaku universal, tanpa pengecualian.
Sementara itu, Angkie Yudistia, seorang penyandang disabilitas tuna rungu yang pernah menjabat sebagai Staf Khusus Presiden RI, berbagi pengalaman tentang peran keluarganya dalam mendidiknya.
Ia mengungkapkan bahwa keluarganya tidak memanjakannya dengan fasilitas material, melainkan menanamkan kedisiplinan sebagai bekal hidup.
“Orang tua saya selalu memastikan setiap hari saya memiliki kegiatan yang bermakna.
Mereka mengajarkan pentingnya disiplin mulai dari bangun pagi, sarapan, hingga memvalidasi perasaan saya setiap hari,” cerita Angkie.
Melalui dukungan keluarga yang konsisten, penyandang disabilitas dapat tumbuh menjadi individu yang percaya diri, mandiri, dan siap berkontribusi bagi masyarakat.
Karakter kepemimpinan yang dibangun sejak dini tidak hanya memberi manfaat bagi diri mereka sendiri, tetapi juga membuka peluang bagi mereka untuk menjadi bagian dari pengambilan keputusan yang inklusif.***