Swarawarta.co.id – Mengapa kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah? Hal tersebut belakangan ini sering menjadi bumerang di kalangan masyarakat Indonesia.
Sebenarnya Mengapa Kualitas Pendidikan di Indonesia Sangat Rendah?
Pendidikan di Indonesia sebenarnya mendapat alokasi dana yang sangat besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Orangtua juga mengeluarkan banyak biaya untuk pendidikan anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, meskipun dana yang besar digelontorkan, kualitas pendidikan di Indonesia tampaknya tidak mengalami perubahan signifikan.
Seolah-olah dana tersebut “bocor” entah ke mana.
Salah satu masalah utama adalah kualitas guru di Indonesia yang masih sangat rendah.
Banyak orang yang menjadi guru bukan karena minat atau passion mengajar, tetapi lebih karena ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau mencari pekerjaan yang stabil.
Di masa pemerintahan Soeharto, profesi guru lebih dipandang sebagai birokrat ketimbang pendidik dan budaya tersebut tampaknya masih bertahan hingga saat ini.
Selain itu, banyak guru, terutama di daerah-daerah terpencil, yang tidak hadir di sekolah dalam waktu yang lama. Ada yang bahkan bolos berbulan-bulan, sementara gaji tetap dibayar.
Akibatnya, proses belajar mengajar terganggu dan murid-murid dibiarkan tanpa pembelajaran yang memadai.
Bahkan ketika guru datang, seringkali yang diberikan kepada siswa hanyalah tugas mengerjakan lembar kerja siswa (LKS), karena guru merasa malas untuk mengajar.
Sistem pendidikan di Indonesia juga tidak memberikan penghargaan yang layak bagi guru yang berinovasi dalam pengajaran atau yang mampu mendorong siswa untuk berpikir kritis dan berkembang.
Sebaliknya, penghargaan dan kenaikan pangkat lebih bergantung pada senioritas atau lamanya masa kerja, bukan pada kemampuan atau kualitas pengajaran guru tersebut.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, kualitas pendidikan justru semakin menurun.
Kepala sekolah kini dipilih oleh kepala daerah berdasarkan sistem balas jasa politik.
Di beberapa daerah, kepala sekolah bahkan bisa diangkat kembali meskipun pernah terlibat dalam kasus penyalahgunaan dana atau tindak kejahatan, asalkan mereka mendukung kepala daerah yang terpilih.
Para kepala sekolah seperti ini juga cenderung akan lebih fokus untuk menyenangkan hati kepala daerahnya daripada meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah yang dipimpinnya.
Pendidikan di Indonesia juga terkesan lebih mementingkan ijazah ketimbang kualitas pendidikan itu sendiri.
Banyak orang bersekolah hanya untuk mendapatkan gelar, bukan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Akibatnya, nilai dan gelar menjadi lebih penting daripada pemahaman yang sesungguhnya tentang materi pelajaran.
Meskipun banyak orangtua yang menginvestasikan waktu dan uang untuk les atau bimbingan, hal tersebut tidak selalu efektif di Indonesia.
Di negara lain, les seringkali membantu siswa untuk benar-benar memahami materi pelajaran dan meningkatkan kemampuan mereka.
Namun di Indonesia, banyak les yang hanya mengajarkan trik dan cara cepat untuk mengerjakan soal ujian sekolah, tanpa benar-benar mengajarkan siswa untuk berpikir kritis dan memecahkan masalah.
Kurikulum 2013 yang sempat diterapkan juga sempat mengusulkan untuk mengurangi jam pelajaran sains, dan lebih memfokuskan waktu untuk mata pelajaran agama, PKN, dan matematika.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran, karena jika sains dihapuskan, maka generasi muda Indonesia bisa kehilangan pemahaman dasar tentang ilmu pengetahuan yang penting untuk perkembangan negara di masa depan.