SwaraWarta.co.id – Seorang pemuda di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, tewas setelah tertusuk senjata tajam jenis badik yang ia gunakan dalam upacara adat angngaru untuk menyambut pengantin pada Selasa, 29 Oktober 2024.
Dalam insiden tersebut, badik yang digunakan pemuda tersebut melukai dada kirinya, menyebabkan ia pingsan dan akhirnya meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebuah video amatir yang tersebar luas di media sosial merekam detik-detik menegangkan saat pemuda tersebut mengalami kecelakaan dalam upacara adat tersebut.
Pemuda itu sedang melakukan angngaru, sebuah tradisi penyambutan dengan gerakan silat khas Sulawesi Selatan, dalam acara penyambutan pasangan pengantin.
Kejadian tragis ini berlangsung di Kelurahan Pundata Baji, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkep, pada siang hari.
Menanggapi insiden tersebut, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Jeneponto, H. Muh.
Arifin Nur, mengimbau agar tradisi angngaru ke depan tidak lagi menggunakan senjata tajam seperti badik atau kris saat menyambut tamu.
Menurutnya, penggunaan senjata tajam dalam tradisi tersebut berisiko tinggi dan bisa membahayakan pelakunya.
“Dengan adanya kejadian di Pangkep yang mengakibatkan kematian dalam angngaru, kalau bisa tradisi ini tidak lagi menggunakan senjata tajam karena sangat berbahaya,” ujar Arifin Nur.
Di sisi lain, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto, A. Maming Awing, SE, menyatakan bahwa tradisi angngaru merupakan bagian dari budaya yang penting dan tidak boleh dihilangkan.
Maming mengusulkan bahwa tradisi ini bisa tetap dilaksanakan, namun dengan penggantian senjata.
Sebagai alternatif, ia menyarankan penggunaan replika badik atau kris yang terbuat dari kayu, meskipun ia mengakui bahwa hal ini mungkin sulit diterapkan.
“Adat angngaru tidak boleh dihilangkan karena ini budaya. Tradisi ini boleh tetap dilakukan, misalnya dengan menggunakan benda yang menyerupai badik atau kris dari kayu hitam,” ujar Maming pada Rabu pagi.
Peristiwa ini memicu diskusi mengenai bagaimana menjaga kelestarian budaya sambil memastikan keselamatan para pelakunya.
Angngaru sendiri merupakan bagian penting dalam budaya Bugis-Makassar yang penuh makna simbolis.
Dalam tradisi ini, peserta biasanya menunjukkan keberanian dan kesetiaan kepada adat istiadat serta menghormati tamu yang hadir.
Sayangnya, penggunaan senjata tajam seperti badik dalam tradisi ini membawa risiko kecelakaan, terutama jika tidak dilakukan dengan hati-hati.
Meningkatkan kesadaran tentang keselamatan dalam pelaksanaan tradisi seperti angngaru menjadi langkah penting.
Beberapa pihak berpendapat bahwa modernisasi tradisi adat, seperti mengganti senjata tajam dengan replika yang aman, bisa menjadi solusi untuk mengurangi risiko tanpa menghilangkan makna budaya yang terkandung di dalamnya.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa keamanan dan pelestarian budaya harus berjalan seiring.
Mengingat bahwa tradisi angngaru sangat erat kaitannya dengan identitas masyarakat setempat, diharapkan ada solusi yang dapat memadukan kelestarian budaya dengan standar keselamatan yang lebih baik.
Penggunaan replika senjata atau alternatif yang lebih aman bisa menjadi langkah awal untuk memastikan tradisi ini dapat terus hidup tanpa mengorbankan keselamatan.***