Swarawarta.co.id – Majelis hakim PTUN DKI Jakarta dijadwalkan akan membacakan amar putusan terkait gugatan PDIP mengenai penetapan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden pada 24 Oktober mendatang.
Guru Besar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa hakim PTUN bisa dikenakan sanksi pidana jika putusannya berusaha membatalkan pelantikan wakil presiden terpilih.
Jimly menjelaskan bahwa jadwal pelantikan presiden dan wakil presiden adalah final dan tidak dapat diganggu gugat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menegaskan bahwa tidak ada lembaga, termasuk PTUN, yang memiliki wewenang untuk mengubah ketetapan konstitusi tersebut.
“Sebaiknya kita tunggu saja putusannya. Yang jelas, jadwal konstitusional pelantikan presiden atau wakil presiden sudah pasti dan tidak bisa diubah oleh PTUN dan lembaga lain yang tidak punya kewenangan untuk itu,” kata Jimly kepada wartawan, Jumat (11/10/2024).
Ia juga menekankan bahwa proses hukum terkait gugatan pilpres sudah selesai dan keputusannya bersifat final dan mengikat.
Jimly mengacu pada lembaga hukum yang terlibat dalam pemilu, seperti KPU, Bawaslu, DKPP, dan MK, yang semuanya telah diatur oleh UUD sebagai hukum tertinggi.
“Aturan hukum pemilu sudah lengkap, ada KPU, Bawaslu, DKPP, dan MK. Semua urusan pilpres sudah selesai, final. Ini tegas diatur dalam UUD sebagai hukum tertinggi,” kata Jimly.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi telah menolak gugatan terkait sengketa Pilpres 2024 dari pasangan Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud Md. Keputusan MK tersebut, yang diambil pada 22 April 2024, mengukuhkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih berdasarkan hasil Pilpres 2024.
Jimly, yang juga merupakan mantan Ketua MK, menyoroti bahwa hakim PTUN seringkali menyalahgunakan wewenang mereka di bawah nama independensi.
Ia memperingatkan bahwa jika hakim PTUN mengambil keputusan yang mengganggu stabilitas negara, mereka bisa dikenakan tindakan pidana.
“Iya. Coba bayangkan misalnya hakim pengadilan agama yang kebetulan punya hubungan keluarga dengan seorang wanita yang gugat cerai suaminya, lalu ia mengabulkan gugatan cerai istri ke suaminya yang melakukan KDRT, dan hakim yang bersangkutan menambahkan sanksi pidana penjara 1 tahun untuk si suami. Apa harus dibiarkan ada hakim yang menyalahgunakan kekuasaannya secara semena-mena atas nama kebebasan dan independensi hakim?” kata Jimly.
“Banyak hakim TUN yang ngawur begini, apa mesti dibiarkan? Biar ramai sekali untuk reformasi total peradilan, gampang cari pasalnya untuk menangkap hakim yang bikin kacau negara dan diproses pidana dan etika sekaligus. Biar hakim menilainya sebagai pembelajaran untuk pembenahan dunia hakim,” imbuhnya.