SwaraWarta.co.id – Presiden Prancis Emmanuel Macron baru saja meminta maaf atas keterlambatannya.
Namun, ada alasan kuat yang bisa memaklumi hal ini. Sebagai pemimpin salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Eropa, Macron sedang menghadapi berbagai bencana geopolitik, mulai dari krisis di Timur Tengah hingga konflik di Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak hanya itu, ia juga sedang berjuang menangani krisis politik di dalam negerinya sendiri.
Wawancara ini hampir saja dibatalkan ketika Iran meluncurkan serangan misil ke Israel, yang semakin memperparah konflik di kawasan tersebut. “Saya tidak menduga hari ini akan berjalan seperti ini,” ujar Macron dengan sorot kesedihan di matanya.
Meskipun begitu, topik yang dibahas dalam wawancara ini sangatlah dekat dengan hati Macron.
Sejak menjabat sebagai presiden pada 2017, setelah secara mengejutkan menang di usia 39 tahun sebagai seorang politisi baru, Macron telah berusaha keras untuk mengembalikan posisi Prancis sebagai pusat budaya global.
Kita bisa melihat keberhasilan kreatif yang luar biasa dalam penyelenggaraan Olimpiade Paris, yang menampilkan sejarah dan keunggulan budaya Prancis, atau dalam produksi serial Netflix seperti “Emily in Paris” yang menyoroti desain, bahasa, dan karakter khas Prancis.
Bahkan, istri Macron, Brigitte, sempat tampil dalam serial tersebut pada tahun ini.
Landmark budaya semacam itu tentu memperkuat citra Prancis di dunia internasional, tetapi industri hiburan korporat di negara ini juga tak kalah menonjol di panggung global.
Perusahaan media Prancis Banijay berhasil mengakuisisi Endemol Shine, sementara Mediawan muncul sebagai pemain global dengan serangkaian akuisisi besar, termasuk perusahaan produksi milik Brad Pitt, Plan B.
Selain itu, raksasa fashion Prancis seperti LVMH dan Kering juga ikut berinvestasi dalam dunia perfilman.
Misalnya, agen bakat Hollywood CAA dibeli oleh Groupe Artémis, yang dimiliki oleh bos Kering, François-Henri Pinault. LVMH bahkan meluncurkan 22 Montaigne Entertainment.
Tak ketinggalan, Festival Film Cannes tetap menjadi peluncur film-film besar pemenang Oscar, seperti “Parasite”, “Anatomy of a Fall”, dan tahun ini, “Anora” serta “Emilia Perez.”
Di bawah kepemimpinan Macron, Prancis juga menjadi pionir dalam berbagai isu global yang mendesak.
Prancis menjadi negara pertama yang menerapkan direktif Uni Eropa dengan mewajibkan layanan streaming seperti Netflix untuk berinvestasi dalam produksi lokal.
Selain itu, Prancis juga memainkan peran kunci dalam menginisiasi Undang-Undang Kecerdasan Buatan (AI Act) Uni Eropa, yang menjadi hukum pertama di dunia terkait penggunaan AI.
Namun, di tengah semua pencapaian tersebut, popularitas Macron di dalam negeri justru menurun.
Ia mungkin akan dikenang sebagai salah satu presiden paling kontroversial dalam sejarah Prancis, terutama setelah memaksakan perubahan pada sistem pensiun yang tidak populer, menaikkan usia pensiun dari 62 menjadi 64 tahun.
Sebagai sosok muda yang energik, Macron terpilih dengan mandat perubahan, dan ia sering dibandingkan dengan Barack Obama, baik dari segi pesona maupun kemampuannya berbicara dengan penuh retorika.
Di mata dunia internasional, Macron menjadi contoh menarik dari gaya kepemimpinan Prancis dalam menjalankan bisnis.
Namun, di dalam negeri, pandangan masyarakat terhadapnya lebih kompleks dan beragam.
Dalam peranannya sebagai pemimpin global, Macron harus terus menavigasi berbagai tantangan besar, baik di kancah internasional maupun domestik.
Meskipun langkah-langkahnya di panggung global banyak dipuji, tantangan politik di dalam negeri, seperti reformasi pensiun, menjadi bayang-bayang yang sulit diabaikan dalam karier politiknya.***