SwaraWarta.co.id – Dalam beberapa komunitas, interaksi antara perempuan dan laki-laki yang bukan mahram (yaitu mereka yang boleh dinikahi) sering kali dianggap biasa tanpa dianggap melanggar aturan agama.
Hal ini sering kali terjadi dengan alasan bahwa tradisi tersebut sudah menjadi kebiasaan nenek moyang, serta niat mereka dianggap baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di lingkungan tersebut, perempuan sering duduk bersama saudara ipar laki-lakinya, suami saudara perempuannya, atau sepupu laki-lakinya tanpa mengenakan hijab.
Namun, dalam Islam, sudah jelas bahwa mengenakan hijab, termasuk cadar, serta menjauhi interaksi bebas dengan laki-laki non-mahram adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh Al-Quran, Sunnah, dan ijma’ atau kesepakatan ulama.
Dalil Al-Quran tentang Kewajiban Hijab
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al-Quran yang artinya:
“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…’” (QS. An-Nur: 31).
Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa wanita beriman harus menjaga pandangannya dan menutup auratnya di hadapan laki-laki non-mahram.
Dalam ayat lain, Allah juga memerintahkan pembatasan interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Allah berfirman yang artinya:
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS. Al-Ahzab: 53).
Ayat-ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa perempuan Muslim diwajibkan menutupi kepala, rambut, leher, dan bagian atas dada, serta menjauhi interaksi bebas dengan laki-laki non-mahram.
Larangan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan dan melindungi perempuan dari fitnah dan gangguan.
Dalil dari Sunnah
Selain dalil Al-Quran, kewajiban mengenakan hijab juga didukung oleh banyak hadits.
Salah satu hadits yang terkenal adalah ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan para perempuan untuk menghadiri shalat ‘Eed (Idul Fitri dan Idul Adha).
Beberapa perempuan berkata, “Wahai Rasulullah! Beberapa di antara kami tidak memiliki pakaian luar (untuk menutup aurat).”
Nabi kemudian bersabda, “Hendaknya saudara perempuannya meminjamkan pakaian untuknya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan pentingnya wanita Muslim untuk selalu menutup aurat mereka saat berada di luar rumah, bahkan ketika menghadiri acara besar seperti shalat ‘Eed.
Hal ini menegaskan bahwa hijab bukanlah pilihan, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi dalam kondisi apapun.
Pengalaman Wanita Ansar
Dalam riwayat dari Umm Salamah radhiyallahu ‘anha, ia menceritakan bahwa ketika ayat tentang hijab turun, wanita-wanita Ansar (penduduk Madinah yang mendukung Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam) keluar dari rumah mereka dengan mengenakan pakaian hitam yang menutupi seluruh tubuh mereka, seolah-olah ada burung gagak di atas kepala mereka karena ketenangan dan ketaatan mereka. (HR. Abu Dawud).
Riwayat ini menggambarkan betapa besar rasa ketakwaan dan ketaatan wanita-wanita Ansar terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya dalam hal mengenakan hijab.
Mereka dengan segera melaksanakan perintah tersebut tanpa ragu, menunjukkan bahwa hijab adalah bagian integral dari identitas Muslimah yang taat.
Mengapa Hijab dan Pembatasan Interaksi Penting?
Kewajiban mengenakan hijab dan menjauhi interaksi bebas dengan non-mahram bukanlah aturan yang muncul tanpa tujuan.
Hijab melindungi kehormatan perempuan dan menjaga kebersihan hati baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Dengan menutup aurat, seorang perempuan menjaga dirinya dari pandangan yang tidak pantas dan kemungkinan fitnah.
Begitu pula, pembatasan interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berfungsi untuk mencegah terjadinya fitnah dan menjaga kesucian hati.
Allah memerintahkan umat Muslim untuk menjaga pandangan mereka dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan godaan dan keinginan yang tidak dibenarkan.
Islam menekankan pentingnya menjaga kehormatan, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dan ini dilakukan dengan menetapkan aturan-aturan yang jelas mengenai aurat dan interaksi antar jenis kelamin.
Oleh karena itu, tidak ada alasan yang membenarkan pelanggaran terhadap perintah ini, meskipun mungkin dianggap sebagai kebiasaan atau tradisi nenek moyang.
Hijab bukan hanya pakaian fisik, tetapi juga lambang ketundukan seorang perempuan kepada perintah Allah.
Dalam Islam, hijab dan pembatasan interaksi dengan non-mahram adalah kewajiban yang jelas dan tidak dapat diperdebatkan.
Dalil-dalil dari Al-Quran, Sunnah, dan ijma’ para ulama mendukung pentingnya menjaga aurat dan menjauhi pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Perintah ini, meskipun mungkin bertentangan dengan kebiasaan atau tradisi tertentu, harus dipatuhi oleh setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.***