SwaraWarta.co.id Ghibah atau menggunjing adalah salah satu perilaku yang sangat dilarang dalam Islam.
Secara umum, ghibah berarti membicarakan keburukan atau kekurangan seseorang di belakangnya, yang jika orang tersebut mendengar, akan merasa tersakiti.
Dalam Al-Qur’an dan hadits, perilaku ini dipandang sangat negatif, bahkan diibaratkan seperti memakan bangkai saudara sendiri (QS. Al-Hujurat: 12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, ada beberapa kondisi di mana ghibah diperbolehkan dalam Islam, dengan syarat dan ketentuan tertentu yang telah dijelaskan oleh ulama dan berbagai literatur Islami.
Pengertian Ghibah Secara Umum
Ghibah secara bahasa berasal dari kata Arab “ghāba” yang berarti tersembunyi atau tidak hadir. Secara istilah, ghibah mengacu pada tindakan menyebutkan hal-hal yang sebenarnya ada pada seseorang namun dapat merusak reputasinya.
Seperti yang diriwayatkan dalam hadits Rasulullah SAW:
“Tahukah kalian apa itu ghibah? Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Beliau bersabda: Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci.” (HR. Muslim).
Namun demikian, dalam beberapa kasus, Islam memberikan pengecualian atau kelonggaran, di mana ghibah dapat dianggap diperbolehkan jika dilakukan dengan niat dan alasan yang benar.
Kondisi Ghibah yang Diperbolehkan
Menurut ulama, terdapat beberapa kondisi di mana ghibah tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga dianggap perlu untuk kepentingan umum. Kondisi tersebut meliputi:
1. Mengadukan Kezaliman
Salah satu keadaan di mana ghibah diperbolehkan adalah ketika seseorang mengadukan kezaliman yang dialaminya kepada pihak yang berwenang.
Sebagai contoh, seorang korban penipuan dapat menyebutkan perbuatan buruk pelaku kepada pihak berwenang agar mendapatkan keadilan.
Dalam hal ini, ghibah dilakukan bukan untuk merendahkan orang tersebut, melainkan untuk memperbaiki keadaan.
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menyebutkan bahwa ghibah dalam bentuk ini tidak terlarang karena demi kepentingan penyelesaian kezaliman.
2. Meminta Fatwa atau Nasihat
Ketika seseorang meminta fatwa atau nasihat kepada seorang ulama tentang masalah yang melibatkan orang lain, Islam memperbolehkan untuk menyebutkan perbuatan atau karakter buruk orang tersebut, asalkan hanya terbatas pada hal-hal yang relevan.
Contohnya, seseorang yang menghadapi masalah keluarga mungkin perlu menyebutkan perilaku buruk pasangannya kepada seorang ahli fiqh untuk mendapatkan nasihat yang tepat.
3. Peringatan Bahaya atau Kerugian
Ghibah juga dibolehkan jika bertujuan untuk memperingatkan orang lain dari potensi bahaya atau kerugian.
Contohnya adalah memberikan peringatan tentang seseorang yang diketahui kerap menipu atau melakukan tindakan tidak etis, terutama jika hal itu dilakukan untuk melindungi orang banyak dari kerugian.
Para ulama menyebutkan bahwa ini termasuk bentuk ghibah yang dibolehkan karena mengandung maslahat yang lebih besar.
4. Mengungkapkan Kesalahan yang Terang-terangan
Jika seseorang secara terang-terangan melakukan dosa di hadapan umum, seperti minum minuman keras di tempat umum atau melakukan tindakan tidak bermoral di hadapan banyak orang.
Tujuan dari menyebutkan perbuatan ini adalah untuk memberikan teguran atau koreksi agar orang tersebut sadar akan kesalahannya.
5. Identifikasi atau Pengakuan
Dalam situasi tertentu, ghibah dapat digunakan untuk tujuan identifikasi. Misalnya, jika seseorang hanya dikenal dengan ciri-ciri fisik atau perilaku tertentu, penyebutan ciri tersebut untuk membantu orang lain mengenalinya dianggap tidak masalah.
Sebagai contoh, menyebutkan “Si Fulan yang pincang” untuk membantu orang lain mengidentifikasi siapa yang dimaksud, dianggap dibolehkan jika tidak ada cara lain yang lebih baik untuk menjelaskannya.
Kewajiban Menghindari Ghibah yang Tidak Perlu
Meskipun ada beberapa kondisi yang memperbolehkan ghibah, penting untuk diingat bahwa dalam segala situasi, Islam tetap menekankan niat yang lurus dan tujuan yang jelas.
Ghibah yang dilakukan tanpa alasan yang sah atau semata-mata untuk merendahkan seseorang tetap tidak diperbolehkan.
Rasulullah SAW menegaskan dalam banyak hadits bahwa lidah manusia adalah salah satu sumber dosa terbesar, oleh karena itu, setiap Muslim harus berusaha menjaga ucapannya agar selalu sesuai dengan tuntunan agama.