Dalam Islam, pernikahan merupakan sunah Rasulullah yang bertujuan untuk menciptakan keluarga yang harmonis, sakina mawadah warohmah, serta penuh kasih sayang dan rahmat. Setelah akad nikah dilaksanakan, baik suami maupun istri memiliki kewajiban dan hak yang harus dipenuhi.
Ahmad Jazuli, Peneliti Ahli Muda di Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan bahwa dalam Alquran Surat An-Nisa ayat 19, terdapat ajaran untuk memperlakukan pasangan dengan baik, yang biasa dikenal sebagai mu’asyarah bil ma’ruf.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut ulama Wahbah Az-Zuhaili, berinteraksi dengan istri adalah suatu hak. Sementara dalam pernikahan, harus ada keadilan dan kesetaraan antara suami dan istri, tanpa memandang gender.
Hukum Islam menegaskan bahwa kesetaraan hak dan kewajiban dapat menghilangkan diskriminasi dalam hubungan suami istri. Hal ini disampaikan oleh Ahmad dalam ceramahnya berjudul “Tinjauan Fiqh Aktivitas Seksual Suami Istri Ketika Sakit” pada webinar tentang penyakit infeksi menular seksual, yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Biomedis Organisasi Kesehatan BRIN pada Kamis (05/09).
Dalam ceramahnya Ahmad menyimpulkan bahwa menurut empat mazhab fiqih, aktivitas seksual sebaiknya dilakukan dalam keadaan normal tanpa adanya halangan/ Sakit. Jika ada uzur seperti sakit atau kondisi lain yang berbahaya, maka sang istri juga berhak untuk tidak melaksanakan kewajibannya dalam hubungan tersebut.
“Jika salah satu pasangan sakit, hubungan yang sebelumnya halal dapat berubah menjadi haram, tergantung pada alasan untuk mencegah penularan penyakit. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Malik dan Ibnu Majah, tidak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain,” tukas Az-Zuhaili.
Bahkan menurut Az-zuhaili, hubungan seksual antara suami dan istri bisa menjadi dosa, apabila sang suami / sebaliknya memaksa pasanganya berhubungan seksual saat sakit / mengalami penyakit menular seksual.
“Apabila suami tetap memaksa tanpa mempertimbangkan uzur tersebut, maka hal tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual dalam rumah tangga atau marital rape. Hal tersebut dapat berimplikasi hukum, termasuk dalam Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, tambahnya.
Jadi saat salah satu pihak sedang sakit, penting untuk menjaga komunikasi yang terbuka. “Melakukan hubungan dengan cara yang baik dan penuh pengertian agar tidak menimbulkan kerugian fisik maupun mental bagi salah satu pihak. Keseimbangan ini diperlukan demi kebaikan bersama, termasuk bagi keturunan yang mungkin lahir dari hubungan tersebut,” tutupnya.
Penulis : Pipit Adila Wati, Siswi Magang, SMAN 1 Ponorogo.