SwaraWarta.co.id – Kisah tragis percintaan antara Romeo dan Juliet ternyata tidak hanya ada di Italia.
Di Ponorogo, Jawa Timur, juga terdapat kisah cinta serupa yang melibatkan Joko Lancur dan Siti Amirah. Hingga kini, cerita mereka masih sering diceritakan secara turun-temurun.
Baca Juga: Mengenal Tari Blunde: Kekayaan Budaya Kalimantan Utara
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Joko Lancur atau Supeno yang berasal dari Desa Golan. Ia memiliki hobi sabung ayam.
Suatu hari, saat bertanding sabung ayam di Desa Mirah, ayam Joko kalah dan lari ke dapur rumah Siti Amirah.
Siti Amirah kemudian memandikan ayam tersebut di sumur rumahnya. Joko Lancur yang mengikuti ayamnya itu terpesona dengan kecantikan Siti Amirah, dan keduanya pun jatuh cinta.
Ketika pulang ke rumah, sikap Joko Lancur berubah menjadi pendiam dan ia enggan keluar rumah.
Ayahnya, Ki Ageng Honggolono, menyadari perubahan ini dan menanyakan alasannya. Ternyata, Joko Lancur jatuh cinta pada Siti Amirah, anak Ki Ageng Mirah.
Namun, percintaan ini menjadi rumit karena kedua keluarga tersebut saling berseteru. Ki Ageng Honggolono adalah seorang tokoh disegani yang beragama Hindu dan menjadi kepercayaan Ki Ageng Kutu.
Sementara itu, Ki Ageng Mirah adalah pendukung Batoro Katong, raja Wengker, yang beragama Islam.
Meskipun mengetahui hubungan cinta ini, Ki Ageng Mirah tidak bisa secara terang-terangan menolak permintaan Joko Lancur.
Ia pun mengajukan beberapa syarat yang sulit dipenuhi. Salah satunya, sawah di Desa Mirah harus dialiri air dalam satu malam, padahal saat itu musim kemarau.
Selain itu, karung berisi padi dan kedelai harus bisa bergerak sendiri dari Golan ke Mirah tanpa bantuan manusia.
Keberhasilan Ki Ageng Honggolono dalam Memenuhi Syarat
Ki Ageng Honggolono berhasil memenuhi syarat-syarat tersebut. Namun, ketika karung padi dan kedelai tiba di Desa Mirah, Ki Ageng Mirah menyatakan bahwa yang datang bukanlah padi, melainkan jerami, dan kedelai yang datang hanyalah kulitnya.
Hal ini membuat Ki Ageng Honggolono merasa dipermalukan dan marah.
Akhirnya, kisah cinta ini berakhir tragis. Siti Amirah meninggal, dan Joko Lancur pun bunuh diri karena tidak tahan melihat kematian kekasihnya.
Setelah kematian Joko Lancur, Ki Ageng Honggolono mengeluarkan sumpah yang melarang warga Desa Golan dan Mirah untuk menikah, membawa barang satu sama lain, dan melakukan beberapa hal lainnya.
Hingga kini, makam Siti Amirah, Joko Lancur, dan ayam jago tersebut masih terawat dengan baik di Setono Wungu, Desa Nambangrejo, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo.
Baca Juga: Marga Harahap: Warisan Budaya Batak yang Kaya
Sumpah yang diucapkan Ki Ageng Honggolono masih dianggap sakral oleh warga kedua desa tersebut.
Sumpah Ki Ageng Honggolono
Wong Golan lan wong Mirah ora oleh jejodhoan. Kaping pindo,isi-isine ndonyo soko Golan kang ujude kayu, watu, banyu lan sapanunggalane ora bisa digowo menyang Mirah. Kaping telu, barang-barange wong Golan Karo Mirah ora bisa diwor dadi siji. Kaping papat, Wong Golan ora oleh gawe iyup-iyup saka kawul. Kaping limone, wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen lan gawe panganan soko dele“. (Warga Desa Golan dan Mirah tidak boleh menikah. Segala jenis barang dari Desa Golan tidak boleh dibawa ke Desa Mirah dan sebaliknya. Segala jenis barang dari kedua Desa Golan dan Mirah tidak bisa dijadikan satu,
Warga Desa Golan tidak boleh membuat atap rumah berbahan jerami Warga Desa Mirah tidak boleh menanam, membuat hal apapun yang berkaitan dengan bahan kedelai).