SwaraWarta.co.id – Diberitakan bahwa pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto,
menyampaikan bahwa penegakan aturan terkait pengamanan unjuk rasa di internal Polri berpotensi mencegah kekerasan oleh aparat kepolisian saat menangani aksi demonstrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pernyataannya di Jakarta pada Selasa lalu, Bambang menjelaskan bahwa sebenarnya ada berbagai peraturan Polri yang telah mengatur prosedur pengamanan aksi.
Beberapa di antaranya adalah Peraturan Kepala Kepolisian Negara (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 mengenai Implementasi Prinsip dan Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 yang mengatur penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Menurut Bambang, peraturan-peraturan ini berfungsi sebagai panduan dan batasan bagi personel di lapangan.
Namun, ia menilai bahwa masih ada kekurangan dalam upaya internal Polri untuk menegakkan aturan-aturan tersebut,
yang pada akhirnya membuat kekerasan oleh oknum polisi seolah menjadi sesuatu yang lazim dan diterima dalam institusi.
Bambang juga mengakui bahwa menerapkan peraturan-peraturan tersebut di lapangan bukanlah hal yang mudah.
Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa kesulitan ini tidak boleh dijadikan alasan untuk memaklumi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat.
Lebih lanjut, Bambang menyoroti bahwa selama ini, negara tidak pernah meminta pertanggungjawaban dari institusi Polri terkait tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya.
Selain itu, ia juga mencatat tidak adanya mekanisme sanksi dari negara terhadap kekerasan yang dilakukan oleh polisi.
Hal ini, menurutnya, menyebabkan kurangnya evaluasi dan hampir tidak adanya sanksi bagi personel polisi yang melakukan kekerasan saat menangani aksi demonstrasi.
Bambang menegaskan bahwa untuk menghindari kekerasan dalam pengamanan aksi unjuk rasa, aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam perkap harus lebih ditegakkan secara internal di Polri.
Ia memperingatkan bahwa apabila pelanggaran dibiarkan tanpa sanksi yang berarti, maka peraturan tersebut hanya akan menjadi doktrin yang tidak memiliki makna nyata.
Lebih dari itu, Bambang juga mengingatkan bahwa tugas pengamanan aksi unjuk rasa seharusnya didasari oleh semangat untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat yang sedang menyampaikan aspirasinya.
Menurut Bambang, sebagai aparat negara, polisi seharusnya berperan untuk melayani dan menjaga para demonstran dalam menyampaikan aspirasi mereka,
serta melindungi mereka dari individu-individu yang berperilaku anarkis, merusak, atau mengganggu jalannya aksi.
Polisi tidak boleh memandang masyarakat yang sedang melakukan aksi sebagai kelompok yang harus dihadapi, melainkan sebagai pihak yang harus dilayani.
Insiden kericuhan terjadi dalam beberapa demonstrasi menentang RUU Pilkada di berbagai kota.
Pada Senin (26/8) lalu, polisi membubarkan paksa aksi mahasiswa di depan Kantor DPRD Kota Semarang setelah situasi sempat memanas antara aparat kepolisian dan mahasiswa.
Dalam insiden tersebut, mahasiswa dilaporkan merusak dua pintu gerbang kompleks kantor yang berada dalam satu lokasi dengan kantor Wali Kota Semarang.
Polisi kemudian mendorong massa mahasiswa ke arah utara di Jalan Pemuda dengan menggunakan mobil meriam air dan gas air mata.
Kuasa hukum Gerakan Rakyat Menggugat Jawa Tengah, Tuti Wijaya, mencatat bahwa sebanyak 33 orang dirawat di berbagai rumah sakit akibat insiden tersebut, dengan sebagian besar mengalami sesak nafas dan luka di kepala.
Sementara itu, Kapolrestabes Semarang Kombes Pol. Irwan Anwar menyayangkan keterlibatan siswa SMK dalam demonstrasi mahasiswa yang berakhir ricuh tersebut.
Ia menyebutkan bahwa beberapa siswa yang masih berseragam sekolah turut membawa kayu panjang dan melempari polisi.
Dengan melihat situasi ini, Bambang Rukminto kembali menekankan pentingnya penegakan aturan pengamanan aksi unjuk rasa yang telah diatur dalam perkap oleh internal Polri agar kekerasan dapat dicegah dan tidak lagi dianggap sebagai hal yang lumrah dalam institusi kepolisian.***