SwaraWarta.co.id – Dari kasus korupsi, Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Jumat melaksanakan penggeledahan di kantor Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Penggeledahan ini dilakukan sebagai bagian dari penyidikan terkait dugaan korupsi dalam pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Timur untuk tahun anggaran 2019-2022.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tessa Mahardhika, Juru Bicara KPK, mengonfirmasi kegiatan tersebut dan mengatakan bahwa memang benar ada penggeledahan yang dilakukan oleh KPK di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terkait kasus dana hibah.
Meski demikian, Tessa belum bisa memberikan detail lebih lanjut mengenai ruang-ruang yang digeledah karena proses penggeledahan masih berlangsung.
Ia juga memastikan bahwa temuan dari penggeledahan tersebut akan diumumkan setelah seluruh proses selesai.
Namun, ia menyampaikan bahwa belum ada informasi lebih lanjut yang dapat disampaikan saat ini.
Penyidik KPK sendiri masih dalam tahap penggeledahan, dan informasi yang lebih lengkap akan diberikan setelah seluruh kegiatan rampung.
Dalam perkembangan sebelumnya, KPK telah mengumumkan pada hari Jumat, 12 Juli 2024,
bahwa mereka telah menetapkan 21 tersangka dalam pengembangan penyidikan terkait dugaan korupsi suap dalam pengurusan dana hibah untuk pokmas dari APBD Provinsi Jawa Timur pada tahun anggaran 2019-2022.
Tessa menambahkan bahwa nama-nama tersangka dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan akan diumumkan setelah penyidikan dianggap cukup.
Penetapan tersangka ini didasarkan pada surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) yang diterbitkan pada tanggal 5 Juli 2024.
Penyidikan ini merupakan kelanjutan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur, Sahat Tua P. Simanjuntak, dan sejumlah pihak lain pada bulan September 2022.
Dalam kasus sebelumnya, Sahat Tua P. Simanjuntak telah divonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Surabaya dengan hukuman 9 tahun penjara.
Vonis ini dijatuhkan atas keterlibatannya dalam korupsi dana hibah yang terkait dengan pokok pikiran (pokir) DPRD Provinsi Jawa Timur pada tahun anggaran 2021.
Ketua Majelis Hakim, I Dewa Suardhita, memutuskan hukuman penjara selama 9 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar dengan hukuman subsider 6 bulan penjara.
Selain itu, Sahat juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp39,5 miliar dalam waktu satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap.
Jika tidak mampu membayar, hartanya akan disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Apabila Sahat masih tidak sanggup membayar, hukuman penjara selama 4 tahun akan dijatuhkan sebagai pengganti.
Hakim menilai bahwa Sahat melanggar Pasal 12 a juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Dalam pertimbangan, hakim menyatakan bahwa Sahat tidak mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi dan memberantas tindak pidana korupsi.
Hal yang meringankan terdakwa adalah bahwa Sahat belum pernah dihukum sebelumnya dan memiliki tanggungan keluarga yang harus dinafkahi.
Majelis hakim juga memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Sahat Tua P. Simanjuntak, melarangnya untuk menduduki jabatan publik selama 4 tahun setelah masa hukuman penjara selesai.
Jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK, Arif Suhermanto, menerima putusan tersebut meski hukuman yang dijatuhkan lebih rendah dari tuntutan.
Arif menyatakan bahwa putusan yang dijatuhkan sudah memenuhi rasa keadilan di masyarakat.
Sahat Tua P. Simanjuntak ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada bulan Desember 2022.
Bersama anak buahnya, Rusdi dan Muhammad Chozin (almarhum), ia menerima suap dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi alias Eeng.
Suap tersebut diterima sebagai imbalan untuk memuluskan pencairan dana hibah pokmas.
Disebutkan bahwa dalam kurun 2020 hingga 2023, Sahat berhasil mencairkan uang sekitar Rp200 miliar dana hibah.
Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi telah divonis 2,5 tahun penjara. Mereka menerima vonis yang lebih ringan karena berstatus sebagai justice collaborator.***