SwaraWarta.co.id Ponorogo merupakan kabupaten di Jawa Timur yang memiliki beragam budaya. Salah satu budaya yang sangat penting dan hakiki bagi masyarakat Ponorogo adalah tradisi larungan.
Larungan adalah sebuah tradisi yang melibatkan keseluruhan masyarakat setempat, dimana mereka memberikan sesaji kepada leluhur untuk mencari keselamatan bersama-sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Baca Juga:
Sering Ramai Pengunjung, Ini Kisah Mistis di Telaga Ngebel
Biasanya, Larungan dilakukan di Telaga Ngebel, sebuah tempat yang dianggap keramat karena rawan terjadi kecelakaan hingga merenggut korban jiwa.
Legenda Telaga Ngebel Ponorogo
Konon, legenda Telaga Ngebel bermula dari sepasang suami-istri yang memohon kepada dewa agar diberikan keturunan.
Dewa pun mengabulkan permohonan mereka dan memberikan pasangan tersebut keturunan sebuah anak ular naga yang diberi nama Baru Klinting.
Pasangan suami istri tersebut terus berdoa kepada dewa agar anak mereka dapat berubah menjadi manusia seutuhnya. Sampai akhirnya keduanya menemukan petunjuk ketika bertapa di sebuah gua.
Petunjuk itu berbunyi, apabila menginginkan anak mereka berubah menjadi manusia, Baru Klinting harus bertapa dan melingkari tubuhnya di sekeliling Gunung Wilis selama 300 tahun.
Baca Juga:
Viral! Ini Dia Sosok Shin Tae-youg KW Asal Ponorogo
Setelah hampir 300 tahun berlalu, tubuh Baru Klinting tak kunjung mengalami perubahan. Ia pun menjulurkan lidahnya supaya dapat melingkari Gunung Wilis dengan sempurna.
Namun, usahanya itu berujung sia-sia karena kedua orang tuanya memotong lidahnya dan mengubahnya menjadi tombak.
Baru Klinting tetap melanjutkan pertapaannya, hingga suatu hari masyarakat desa hendak menyelenggarakan hajatan pernikahan untuk anak kepala desa.
Masyarakat desa bergotong royong mencari kayu bakar di hutan. Ketika salah seorang dari mereka memotong kayu, di luar dugaan kayu tersebut mengeluarkan darah. Batangnya juga dipenuhi daging.
Tanpa berpikir panjang, warga desa mengambil daging tersebut dan membagikannya kepada warga desa lainnya.
Setelah dagingnya habis dilahap warga, Baru Klinting berubah menjadi seorang manusia dengan wujud anak kecil.
Baca Juga:
Libur Lebaran, Jumlah Wisatawan di Telaga Ngebel Kian Membludak
Berdasarkan legenda ini, masyarakat di Ponorogo mempercayai bahwa Telaga Ngebel adalah tempat keramat yang harus dijaga dan dihormati.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menyelenggarakan tradisi larungan di tempat tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada dewa dan makhluk halus yang berkuasa di sekitar area tersebut.
Tradisi Larungan di Ponorogo
Tradisi larungan sendiri terdiri dari beberapa rangkaian acara, seperti penyembelihan kambing kendhit, tirakatan, kirab, dan puncak perayaan tahun baru Islam atau Suro dengan melarung buceng lanang berupa tumpeng nasi beras merah setinggi dua meter.
Selain itu, juga dimeriahkan dengan pertunjukan tari gambyong, tari bedaya larung, dan jathil (jaranan) pada acara larung siang.
Penyembelihan kambing kendhit dilakukan di pintu masuk Telaga Ngebel. Keempat kaki kambing tersebut nantinya akan dikubur di empat tempat yang telah ditentukan, di mana biasanya tempat tersebut dipercaya sebagai tempat keramat.
Sedangkan bagian lainnya akan dimakan warga. Tersisa darahnya akan ditampung di kuali yang dilapisi kain putih, kemudian dihanyutkan ke muara telaga. Hal ini dipercaya sebagai simbol penguapan hawa nafsu.
Larungan malam biasanya dilaksanakan pada malam satu Suro dengan melarung buceng alit pada malam hari, dan larung pagi yang diadakan tepat tanggal satu Suro.
Sebelum pelaksanaan larung malam, kegiatan diawali dengan menyembelih kambing kendhit ketika hari memasuki siang sebelum malam Suro.
Acara dimulai dengan tirakatan yang dilanjutkan dengan dian sewu atau seribu pemuda berjalan kaki mengelilingi telaga dengan membawa obor.
Kegiatan ini dibuka dengan serah terima sesaji, kirab, dan diakhiri dengan kegiatan melarung buceng lanang berupa tumpeng nasi beras merah setinggi dua meter di Telaga Ngebel, sebagai puncak perayaan tahun baru Islam atau Suro.
Baca Juga:
Belum diresmikan, Tribun Telaga Ngebel diserbu Wisatawan
Sedangkan buceng wadon yang terdiri atas buah-buahan dan sayur-sayuran yang didapatkan dari hasil panen warga dipersiapkan untuk warga yang menyaksikan.
Larung siang sendiri dimeriahkan pertunjukan tari gambyong, tari bedaya larung, dan jathil (jaranan).
Acara ini dilakukan sebagai ungkapan syukur atas rezeki yang dilimpahkan Tuhan dan sebagai upaya untuk terhindar dari bencana di sekitar Telaga Ngebel.
Dalam keseluruhan rangkaian acara tradisi larungan, masyarakat Ponorogo tetap memegang teguh tradisi mereka sebagai sebuah warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan.
Tradisi ini juga menjadi salah satu daya tarik untuk wisatawan yang ingin mengunjungi dan belajar budaya setempat di Ponorogo.