Akademisi UMY Tolak Revisi UU Penyiaran – SwaraWarta.co.id (Sumber: KPI) |
SwaraWarta.co.id – Hari ini, beberapa akademisi dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta atau UMY mengajukan permintaan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghentikan proses revisi Undang-Undang Penyiaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam kesempatan ini, mereka berpendapat bahwa proses ini dilakukan dirasa terlalu terburu-buru dan berpotensi membatasi kebebasan pers dalam bergerak.
Senja Yustitia, pengajar Prodi Ilmu Komunikasi UMY, dalam konferensi pers di Kampus UMY, Yogyakarta, membetikan saran agar Pemerintah dan DPR RI menghentikan proses revisi ini.
Karena Jika nanti permasalahan ini ingin dibahas kembali, bisa dilakukan, tetapi harus dimulai dari awal dengan transparan dengan melibatkan berbagai pihak, bukan tiba-tiba muncul dan ingin direvisi begitu saja.
Menurut Senja, revisi UU Penyiaran seharusnya dilakukan dengan proses yang penuh transparansi dengan menjunjung azas demokratis, serta melibatkan banyak jurnalis, akademisi, peneliti media, serta para pelaku industri penyiaran, serta masyarakat umum.
BACA JUGA: Berhasil Diamankan Polisi, Pegi Mengaku Tak Kenal dengan Vina dan Eky
Senja juga menekankan bahwa jika regulasi hasil revisi ini disahkan menjadi UU, dampaknya akan signifikan terhadap kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia, dan tentunya ini akan merugikaj banyak pihak.
Fajar Junaedi, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UMY, menyoroti beberapa pasal dalam revisi UU Penyiaran yang dianggap bermasalah dan berpotensi menghambat kebebasan pers.
Salah satunya adalah larangan terhadap konten jurnalisme investigasi. Fajar menjelaskan bahwa jurnalisme investigasi merupakan strategi penting bagi pers dalam mengawasi pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Selain itu, Fajar juga mengkritisi pasal yang mewajibkan konten siaran di internet mematuhi Standar Isi Siaran (SIS) dan memberikan wewenang kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk melakukan penyensoran di media sosial.
Masalah lain yang diungkap Fajar adalah tumpang tindih kewenangan antara KPI dan institusi lain seperti Dewan Pers dalam mengatasi sengketa produk jurnalistik.
Menurutnya, semua bentuk berita, baik cetak, elektronik, maupun digital, adalah produk jurnalistik yang menjadi kewenangan Dewan Pers, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Tri Hastuti Nur Rochimah, pengajar lain di Prodi Ilmu Komunikasi UMY, menyebutkan bahwa berdasarkan draf RUU Penyiaran yang telah dibacanya, UU Pers tidak dimasukkan sebagai konsideran.
BACA JUGA: Buntut Laka Bus SMP PGRI 1 Wonosari, Dindik Malang Terbitkan SE
Dia menilai bahwa keinginan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penyiaran sebelum masa jabatannya berakhir pada periode 2019-2024 terkesan hanya untuk mengejar target tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
“Jika ini sampai disahkan, kami sangat khawatir karena peran pers sebagai pilar demokrasi akan terancam dan tidak berfungsi lagi,” ujar Tri.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, juga menyatakan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran harus mengakomodasi masukan dari semua pihak, terutama insan pers, untuk menghindari kontroversi.
Budi Arie, yang pernah menjadi jurnalis, berharap RUU Penyiaran tidak memberikan kesan sebagai “wajah baru” pembungkaman pers.
Budi Arie menyebutkan bahwa pembahasan RUU ini seharusnya bisa mengakomodasi masukan dari berbagai elemen, terutama insan pers, untuk mencegah kontroversi yang tajam yang akan muncul setelahnya.***