Area makam Putri Campa ( Dok. Istimewa) |
SwaraWarta.co.id – Putri Campa adalah sosok yang dikenal oleh masyarakat Mojokerto karena makamnya masih terjaga dengan baik di Desa Trowulan.
Putri Campa adalah Istri dari Raja Brawijaya V ini menjadi tokoh penting dalam tersebarnya ajaran Islam di wilayah Majapahit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam bukunya yang berjudul ‘Babad Keruntuhan Majapahit Invasi Raden Patah Suatu Kemustahilan Sejarah’, Saiful Amin, seorang pemikir sejarah Mojokerto, menuliskan kisah Putri Campa dan penyebaran Islam di wilayah Majapahit.
Menurut Amin, berdasarkan literatur puja sastra seperti babad atau serat, Prabu Brawijaya V menikahi seorang putri dari Kerajaan Campa.
Putri Campa tersebut diberikan sebagai hadiah dari Raja Campa Indravarman VI pada sekitar tahun 1428 Masehi.
Putri Campa bernama Darawati atau Dwarawati dan dikirim ke Majapahit ketika usianya 17 tahun.
Sejak 1430 Masehi, Darawati menjadi istri selir dari Prabu Brawijaya V atau Dyah Kretawijaya.
Amin menjelaskan, meskipun Putri Campa bukan seorang putri bangsawan atau putri raja, dia tetap menjadi istri dari raja Majapahit, sehingga para imigran dari Campa pun datang ke sana.
Para imigran muslim itu diperkirakan masuk ke wilayah Majapahit pada tahun 1476-1478 Masehi.
Ilustrasi penyebaran agama Islam zaman dulu ( Dok. Istimewa) |
Agama Islam sebenarnya sudah dianut oleh sebagian kecil masyarakat Campa sejak abad ke-11.
Ekspansi agama ini pun diawali dengan kedatangan para pedagang dari Arab dan Persia ke wilayah Campa.
Dalam kelompok imigran tersebut, terdapat beberapa ulama besar seperti Raden Rahmat atau Sunan Ampel, ayah dari Raden Rahmat Makdum Brahim Asmara atau Ibrahim Asmarakandi, Raden Santri Ali, Raden Ali Murtolo, serta Raden Burereh.
Masuknya para imigran muslim dari Campa tersebut disebutkan dalam buku-buku sejarah, seperti babad atau serat, dalam bahasa Jawa, Madura, maupun Sunda.
Mereka datang untuk menemui kerabat dekat Putri Campa yang menjadi istri dari raja Majapahit, sekaligus mencari suaka politik. Serat Wali Sana menyebutkan bahwa para imigran tersebut dilarang kembali ke Campa oleh Prabu Ranawijaya, karena kerajaan mereka telah hancur oleh Kerajaan Koci.
Para imigran muslim itu dipimpin oleh Makdum Brahim Asmara, ayah dari Raden Rahmat.
Makdum Brahim adalah keturunan Nabi Muhammad yang menikah dengan orang Campa.
Ia berasal dari Tyulen, kepulauan kecil di tepi timur laut Kaspia, masuk wilayah Kazakhstan, timur barat laut Samarkand.
Sebelum tiba di ibu kota Majapahit, para imigran muslim asal Campa singgah di Palembang yang saat itu dipimpin oleh Adipati Arya Damar.
Persinggahan mereka membuat Arya Jin Bun, putra Raja Brawijaya V dari selir asal China, menganut Islam.
Saat itu, Arya Jin Bun diasuh oleh Arya Damar. Ketika memeluk Islam, ia berganti nama menjadi Raden Patah.
Raden Patah yang saat itu berusia sekitar 30 tahun, kemudian mengantar rombongan imigran tersebut ke ibu kota Majapahit.
Namun, Makdum Brahim meninggal saat sampai di Tuban. Ketika tiba di ibu kota Majapahit yang saat itu berada di Daha atau Kediri, Raden Patah membawa rombongan menghadap ke Prabu Dyah Ranawijaya.
Ternyata, Putri Campa yang menjadi tujuan mereka meninggal di usia muda yaitu pada 1448 Masehi atau 1370 Saka.
Para imigran tersebut berencana untuk kembali ke Campa, namun dilarang oleh Raja Ranawijaya.
Mereka lalu diberi tempat tinggal oleh raja atas lobi politik dari Raden Patah.
Kedatangan para imigran muslim asal Campa ini mendorong Raja Ranawijaya untuk menggagas pendirian masjid di daerah pesisir seperti Surabaya, Gresik, dan Tuban.
Dia berharap daerah-daerah tersebut menjadi lebih ramai dikunjungi oleh para pedagang muslim lainnya, sehingga memberi keuntungan ekonomi bagi Majapahit.
Para imigran muslim asal Campa ini kemudian ditempatkan di wilayah Demak oleh Raja Ranawijaya.
Easen Rahmat ditunjuk menjadi imam masjid di Ampel Denta dan lalu diangkat menjadi Adipati Surabaya.
Dia menikah dengan Ni Ageng Manila, putri adipati Tuban Arya Teja. Sedangkan Raden Santri Ali ditempatkan di wilayah Gresik.
Raden Rahmat meminta Raden Patah untuk membuat masjid besar di Demak. Raden Patah menindaklanjuti permintaan tersebut pada tahun 1479 Masehi atau 1401 Saka.
Saat itu, Raden Patah menjabat sebagai pecat tonda di Bintoro dan menikahi adik kandung Raden Rahmat, Ni Ageng Maloka.
Raden Patah wafat pada usia 58 tahun karena sakit pada tahun 1507 Masehi. Posisinya sebagai penguasa Demak digantikan oleh Pati Unus bergelar Pangeran Sabrang Lor, yaitu putra dari Raden Patah.
Sementara itu, pada tahun 1510-1511 Masehi Raja Ranawijaya meninggal dunia dan digantikan oleh Prabu Udhara.
Pati Unus menolak tunduk pada Prabu Udhara karena bukan keturunan raja, sementara dirinya keturunan penguasa Majapahit dari garis Brawijaya V.
Daerah pesisir Tuban, Gresik, dan Surabaya kemudian lebih mendekati ke Demak karena sejarah mereka sebagai imigran muslim dari Campa.
Sebagai akibat dari itu, pada tahun 1528 Masehi, Majapahit akhirnya takluk di tangan Demak.
Wilayah kekuasaan Majapahit pun beralih menjadi kekuasaan Kerajaan Demak yang beragama Islam.