Tradisi Tingkeban pada kehamilan ke 7 bulan ( Dok. Istimewa) |
SwaraWarta.co.id – Masyarakat Sunda memiliki beragam adat tradisi Tingkeban yang dilakukan untuk menyambut atau mensyukuri kehamilan.
Tradisi Tingkeban merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat seorang ibu hamil memasuki masa kehamilan tujuh bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tradisi Tingkeban ini adalah yang kedua dilakukan oleh seorang ibu hamil, setelah sebelumnya dilakukan Upacara Mengandung Empat Bulan, dan dapat dilanjutkan dengan Upacara Mengandung Sembilan Bulan.
Tingkeban berasal dari kata dalam Bahasa Sunda, yaitu “tingkeb”, yang berarti tutup.
Maksud dari kata Tingkeban adalah seorang ibu hamil yang mengandung selama tujuh bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari setelah persalinan.
Dalam tradisi ini, seorang ibu hamil dilarang bekerja terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah cukup besar, untuk menghindari risiko pada ibu hamil.
Dengan kata lain, Tingkeban mempunyai tujuan dan harapan agar ibu hamil dan bayi yang dikandungnya selamat.
Upacara Tingkeban biasanya dilakukan dengan cara pengajian yang membaca ayat suci Al-Qur’an, yaitu surat Yusuf, surat Lukman, dan juga surat Maryam.
Kemudian terdapat pula upacara pemandian ibu hamil yang dilakukan oleh tujuh orang keluarga terdekat.
Upacara pemandian tersebut dipimpin oleh seorang paraji yang secara bergantian menggunakan tujuh lembar kain batik yang dipakai bergantian pada setiap guyuran.
Upacara ini juga menggunakan air kembang tujuh rupa.
Pada guyuran ketujuh, dimasukkan belut yang mengenai perut ibu hamil. Tujuannya adalah agar bayi yang dilahirkan dapat berjalan dengan lancar atau mulus seperti gerakan belut.
Kemudian, bersamaan dengan jatuhnya belut, suami dari ibu hamil membelah kelapa gading yang sebelumnya sudah digambari tokoh wayang.
Tujuannya adalah agar orang tua beserta bayi yang dikandungnya dapat berbuat baik lahir dan batin.
Seperti halnya kelapa gading, yang memiliki warna elok dan saat dibelah memiliki air yang manis dan bersih.
Setelah ibu hamil selesai dimandikan dan dirias, ibu hamil dibawa ke tempat selanjutnya untuk melaksanakan upacara rujak kanistren.
Rujak kanistren merupakan rujak buah yang terdiri dari tujuh macam buah-buahan.
Ibu hamil menjual rujak kanistren tersebut kepada anak-anak dan para tamu yang menghadiri upacara Tingkeban.
Para tamu tersebut dapat membeli rujak kanistren dengan menggunakan talawengkar atau genteng yang dibentuk bundar seperti koin.
Bersamaan dengan ibu hamil yang menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan upacara pemandian, seperti air sisa dalam jajambaran, bunga, dan belut.
Peralatan tersebut harus dibuang di jalan simpang tiga atau simpang empat.
Setelah rujak kanistren habis terjual, maka upacara Tingkeban selesai.