Masjid Tegalsari Ponorogo Jawa Timur ( Dok. Istimewa) |
SwaraWarta.co.id – Masjid Tegalsari awalnya sebuah desa yang ddirikan oleh ulama, yaitu Kiai Ageng Muhammad Besari atau juga dikenal sebagai Kiai Ageng Tegalsari I.
Sebelum menjadi masjid Tegalsar, dulunya membangun pertapaan di tengah hutan lebat yang membentang dari kaki Pegunungan Wilis hingga ke wilayah dataran Ponorogo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kiai Ageng hidup menyendiri dan mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. Tak lama kemudian, banyak orang datang untuk berguru kepadanya.
Kiai Ageng mengajarkan ilmu Al-Qur’an, pelaksanaan Ilahi, dan Nabi Muhammad kepada para pengikutnya.
Jumlah pengikutnya pun bertambah, dan desa pun berkembang pesat hingga dinamakan ‘Tegalsari‘.
Nama ‘Tegalsari’ berasal dari kata ‘tegal’ yang berarti ‘ladang’, merujuk pada kondisi awal desa yang hanyalah ladang kosong.
Kata ‘sari’ diambil dari kata ‘bunga’, merujuk pada kondisi desa yang berkembang menjadi lebih makmur pada masa selanjutnya.
Pada sekitar tahun 1742, Tegalsari diangkat menjadi desa perdikan, yakni desa yang dibebaskan dari pajak, upeti dan kewajiban pelayanan kepada Kerajaan.
Pengangkatan ini dilakukan oleh Pakubuwono II sebagai bentuk balasan atas bantuan Kiai Ageng Muhammad Besari selama masa pelarian sang raja.
Sebelum tahun 1830, Ponorogo termasuk dalam mancanegara timur, yaitu daerah-daerah terluar atau provinsi-provinsi terjauh milik Yogyakarta atau Surakarta.
Pada tahun tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih mancanegara timur dari Yogyakarta maupun Surakarta.
Hal inilah yang membuat Desa Tegalsari termasuk dalam administrasi pemerintah kolonial.
Namun, pemerintah kolonial tetap menjaga lembaga keagamaan agar tetap berada seperti semula, seperti yang dianut oleh raja-raja Jawa.
Dengan demikian, desa-desa perdikan yang salah satunya adalah Tegalsari tetap mempertahankan statusnya.