Ilustrasi pemerkosaan anak dibawah umur (Dok. Istimewa) |
SwaraWarta.co.id – Menikahkan korban perkosaan dengan pelaku bukan solusi terbaik. Tindakan ini justru bisa membuat korban semakin traumatis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aflina Mustafainah, Ketua Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) Sulawesi Selatan (Sulsel), berpendapat bahwa masyarakat seringkali salah memandang pemerkosaan dengan mengutamakan moralitas.
Aflina mengatakan bahwa menikahkan korban dengan pelaku hanya dilakukan untuk menutupi aib keluarga. Padahal, hak korban jauh lebih penting untuk dipenuhi.
“Alasan mengawinkan adalah untuk menutup aib keluarga. Hal ini jauh lebih penting mereka pandang ketimbang memberi pemenuhan hak pada korban perkosaan,” ungkap Aflina.
Aflina menegaskan bahwa perkawinan bukanlah solusi terbaik untuk korban perkosaan. Pemerkosaan dapat berdampak psikis pada korban, seperti trauma.
“Korban berada dalam kondisi trauma selama perkawinannya berlangsung, bisa jadi dia tidak akan pernah menikmati hubungan seksual dengan pasangannya.
Menurutnya, korban tidak akan pernah menikmati hubungan seksual dengan pasangannya.
“Bahkan setiap kali melihat pasangannya di dalam rumah, akan mentrigger traumanya muncul,” jelasnya.
Menurut Aflina, dalam situasi seperti ini, pemerintah seharusnya menggunakan regulasi untuk melindungi korban dan membantunya memulihkan diri.
Aflina menekankan bahwa perkawinan bukanlah jalan keluar dan seharusnya tidak dilakukan sebagai langkah yang akan memicu trauma korban.
Sebelumnya, terjadi kasus pemerkosaan pada seorang anak perempuan berusia 11 tahun, dengan inisial RY, oleh seorang pria beristri bernama Faizal.
Kejadian tragis tersebut terjadi pada Agustus 2023 ketika RY menginap di rumah neneknya di salah satu kecamatan di Kabupaten Bulukumba.
Keluarga korban baru mengetahui apa yang dialami RY pada Desember 2023 setelah mengetahui anaknya mengandung dan melaporkan kejadian ini ke Polres Bulukumba.
Meski beredar informasi bahwa kasus ini akan diselesaikan dengan cara kekeluargaan antara keluarga korban dan pelaku.
Sementara itu, kepala desa setempat juga membenarkan bahwa pelaku sedang menguapkan damai dengan pihak korban.
“Ada permintaan yang diajukan oleh keluarga korban, untuk menyelesaikan kasus ini secara damai,” kata Suriadi.
Aflina menekankan bahwa pemerintah harus patuh pada regulasi di negara yaitu UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Untuk itu pemerintah harusnya patuh pada regulasi di negara kita yaitu UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, bahkan harusnya pemerintahlah yang menjadi pelapor atas perkosaan yang terjadi pada warga negara,” tukasnya.