Bertentangan Dengan 6 Hakim, Keputusan MK Tetap Disahkan |
SwaraWarta.co.id – Putusan MK soal batasan usia minimal Capres dan Cawapres yang pada awalnya ditolak, akhirnya diterima dengan catatan bersyarat.
Hal itu telah diputuskan oleh Makhamah Konstitusi atau MK pada tanggal 16 Oktober kemarin dengan putusan batas usia minimal Capres dan Cawapres adalah tetap, 40 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, setelahnya ada pengecualian dengan belum berusia 40 tahun tetapi sudah pernah berpengalaman sebagai pejabat Kepala Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten atau Kota.
Ini tentu saja mengejutkan banyak pihak karena memberi kesan seolah dipaksakan demi merujuk Gibran Rakabuming agar bisa lolos kualifikasi pencalonan.
Hal ini tentu saja menjadi perkara yang sangat kontroversial yang dengan jelas menyingkap tabir kepentingan politik di dalamnya.
Dilihat dari aspek mana pun keputusan MK lebih kental unsur politiknya ketimbang unsur hukum konstitusinya.
Ini secara tidak langsung menciderai hati nurani masyarakat yang telah mempercayai MK sebagai institusi konstitusi ketimbang institusi politik.
Putusan MK tersebut bila diteliti lagi dengan sangat detail maka akan mencuatkan persoalan paling mendasar yakni soal putusan paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu atau Pilkada.
Atas amar putusan ini, tentu saja posisi Gibran Rakabuming akan semakin mulus meski usianya belum menyentuh angka 40 tahun tapi pernah menjabat sebagai Kepala Daerah.
Dalam putusan MK tersebut sebenarnya tidak disetujui dengan suara yang mutlak karena 4 hakim MK menyatakan pendapat yang berbeda atau Dissenting Opinion dengan melakukan penolakan permohonan tersebut.
4 hakim yang menyatakan pendapat yang berbeda tersebut adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Suhartoyo, serta Arief Hidayat.
Sementara 2 hakim MK lainnya, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmich memiliki alasan berbeda atau disebut juga dengan istilah Concurring Opinion.
Meski 2 hakim memiliki Concurring Opinion, kalau dirujuk lebih jauh lagi menjadi condong ke arah Dissenting Opinion. Atau dengan kata lain secara keseluruhan, 6 hakim ini melakukan pendapat yang berbeda.
Kalau dirunut lebih jauh lagi, keputusan MK ini hanya disetujui oleh 3 hakim MK, sementara 6 hakim MK lainnya memutuskan untuk berbeda pendapat.
Dengan hasil ini, yakni 3 berbanding 6, harusnya keputusan MK ini harusnya ditolak karena dari segi kesesuaian pendapat pun lebih condong ke arah penolakan ketimbang penerimaan.
Tetapi entahlah, putusan yang disahkan oleh MK ini tentunya akan memicu perdebatan panjang berbagai pihak karena keputusannya dianggap tidak absah, karena dimenangkan tidak secara mutlak.
Bahkan harusnya keputusan MK itu sejatinya ditolak karena 6 hakim MK menolak, sementara 3 yang menerima.
Kenapa bisa demikian? Hal inilah yang akhirnya menjadi keputusan MK yang kontroversial.